PEREKONOMIAN INDONESIA
"SEJARAH EKONOMI INDONESIA"
NAMA KELOMPOK 3 :
- ALFI AKHDAN RAFIF (20216549)
- BINTANG PUTRI LESTARI (21216450)
- LOLA CRISTIYANTI M (24216089)
- M. MALIK HASAN (24216992)
1EB21
SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA
A.
SEJARAH EKONOMI PRA KOLONIALISME
Yang dimaksud dengan periode Pra-Kolonialisme
adalah masa-masa berdirinya kerajaan-kerajaan diwilayah nusantara (sekitar
abad ke- 5) sampai masa sebelumnya
masuknya penjajah yang secara sistematis menguasai kekuatan ekonomi dan politik
diwilayah Nusantara (sekitar abad ke 15-17).
Profesor Arysio dan seorang geolog nuklir
dari brasil dalam riset oceanografi, etnografi, geologi, dan vulkanologinya
selama 30 tahun untuk menemukan sebuah tempat yang dikenal sebagai Atlantis,
tempat asal mula peradaban dunia, berkesimpulan bahwa tempat itu tidak lain dan
tidak bukan yaitu Indonesia. Penemuan ini diperkuat dengan Openheimer dalam
yang menyebut Indonesia sebagai “eden from east”, surga dari timur
karena kemajuan dan keelokannya yang luar biasa.
Jauh sebelum bangsa Eropa dan Amerika berlayar
mengarungi samudera Pasifik dan Atlantik disebutkan bahwa nenek moyang kita,
bangsa Indonesia sudah menempuh perjalanan berat dan hebat sampai ke afrika.
Hal ini dibuktikan dengan penemuan berbagai situs peninggalan di beberapa
wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dimana terdapat kemiripan dengan
situs-situs yang terdapat dinegara tersebut. Pada Fase selanjutnya kita
mengenal masa kejayaan Sriwijaya (abad ke-18), Samudera Pasai dan Majapahit
(abad ke-13-15), maupun Banten (abad ke-17-18) yang sudah berhubungan dagang
dengan banyak bangsa lain.
Pada masa itu Republik Indonesia belum
berdiri. Daerah-daerah umumnya dipimpin oleh kerajan-kerajaan. Dengan kata
lain, sistem pemerintahan kala itu berbentuk feodal. Kegiatan utama
perekonomian adalah :
a) Pertanian, yang umunya monokultur,
misalnya padi di Jawa dan rempah–rempah di Maluku
b) Eksplorasi hasil alam,misalnya hasil laut,
hasil hutan, serta tambang (emas)
c) Perdagangan besar antarpulau dan
antarnegara yang sangat mengandalkan jalur laut.
Persinggungan sosial, ekonomi, agama, dan
budaya dengan para pedagang Arab turut memajukan kegiatan disektor perniagaan
dan pelayaran.Pasar-pasar sebagai tempat berdagang yang digunakan sebagai tempat
pertukaran antar penduduk yang umumnya bermukim diwilayah pesisir pantai.
Sebuah perubahan politik ekonomi terjadi
ketika pada tahun berikutnya datang para petualang dan pedagang besar dari
Spanyol, Portugis dan Belanda. Dengan kekuatan politik, bisnis, dan militernya
mereka menguasai perekonomian nusantara melalui monopoli perdagangan dan
penguasaan komoditi, pasar dan tenaga kerja Indonesia. Dimulailah era baru
kolonialisme ekonomi yang meliputi hampir seluruh wilayah nusantara.
Sejarah ekonomi bangsa Indonesia pasca
kejayaan kerajaan nusantara tersebut kemudian lekat dengan eksploitasi dan
sub-ordinasi oleh bangsa lain. Ekonomi rakyat (pribumi) tetap sebagai korban
keserakahan kolonialis hingga merdeka tahun 1945.Paparan fase-fase kolonialisme Indonesia disampaikan Profesor Mubyarto
terbagi dalam tiga fase yaitu :
a. Sistem monopoli VOC
b. Sistem tanam paksa (1830)
c. Sistem kapitalis-liberal (1870)
SISTEM
MONOPOLI VOC
Profesor Mubyarto menyebutkan bahwa pada 200
tahun pertama masa kolonialisme (1600-1800), persatuan perdagangan Belanda
(VOC) menerapkan sistem monopoli
(monopsoni) dalam membeli komoditi-komiditi perdagangan seperti rempah-rempah
(lada, pala, cengkeh, kopi ,dan gula) sehingga harganya tertekan karena
ditetapkan sepihak oleh VOC. Meskipun VOC bukan pemerintah penjajah Belanda,
tetapi petani Indonesia merasa VOC mempunyai kekuasaan dan daya paksa seperti
pemerintah karena VOC juga mempunyai aparat “pemerintahan” bahkan memiliki
tentara. Itulah sebabnya Companie
yang berarti tentara yang dapat memaksa petani menyerahkan komoditi perdagangan
yang dipaksa beli oleh VOC. Dalam usahanya melaksanakan monopoli, VOC
menetapkan beberapa peraturan, yaitu sebagai berikut :
1. Rakyat Maluku dilarang
menjual rempah-rempah selain kepada VOC.
2. Jumlah tanaman
rempah-rempah ditentukan oleh VOC.
3. Tempat menanam
rempah-rempah juga ditentukan oleh VOC.
Agar pelaksanaan monopoli
tersebut benar-benar ditaati oleh rakyat, VOC mengadakan Pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi
ialah patroli dengan perahu kora-kora, yang dilengkapi dengan senjata, untuk
mengawasi pelaksanaan monopoli di Maluku. Bila terjadi pelanggaran terhadap
peraturan tersebut di atas, maka pelanggarnya dijatuhi hukuman.
Hukuman terhadap para
pelanggar peraturan monopoli disebut ekstirpasi. Hukuman itu berupa
pembinasaan tanaman rempah-rempah milik petani yang melanggar monopoli, dan
pemiliknya disiksa atau bisa-bisa dibunuh.
SISTEM
TANAM PAKSA
Sistem tanam paksa adalah sebuah aturan yang diperintahkan oleh Gubernur Van Den
Bosch yang mewajibkan agar setiap desa menyisihkan tanahnya untuk ditanami
tanaman ekspor. Pencetus sistem tanam paksa adalah Johannes Van de Bosch. Melalui
rekomendasi Johannes Van de Bosch, seorang ahli keuangan Belanda ditetapkanlah Sistem Tanam Paksa atau Culture Stelsel tahun 1830. Pada tahun 1830 mulai diterapkan
aturan kerja rodi (kerja paksa) yang disebut Culture Stelsel. Culture Stelsel
dalam bahasa Inggris adalah Cultivation System yang memiliki arti sistem tanam.
Namun di Indonesia culture stelsel lebih
dikenal dengan istilah tanam paksa. Ini cukup beralasan diartikan seperti itu
karena dalam praktiknya rakyat dipaksa untuk bekerja dan menanam tanaman wajib
tanpa mendapat imbalan. Tanaman wajib adalah tanaman perdagangan yang laku di
dunia internasional seperti kopi, teh, lada, kina, dan tembakau. Sistem tanam
paksa pertama kali diperkenalkan di Jawa dan dikembangkan di daerah-daerah lain
di luar Jawa.
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah
hampir bangkrut karena terlibat perang jawa terbesar (Perang Diponegoro
1825-1830), dan Perang Padri di Sumatera Barat (1821- 1837),Gubernur Jenderal
Van De Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem tanam paksa (Culture Stelsel) dengan tujuan utama mengisi
kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah
penjajah yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam
dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara
yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani pada jaman VOC wajib menjual komoditi
tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya
pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada lagi perkembangan
yang bebas dari sistem pasar.
ATURAN
SISTEM TANAM PAKSA
Sistem tanam paksa pada dasarnya adalah
gabungan dari sistem tanam wajib yang diberlakukan VOC dan pajak tanah yang
diberlakukan oleh Rafless. Sistem tanam
paksa tersebut memiliki ketentuan sebagai berikut :
a. Pribumi yang mempunyai tanah diwajibkan
menanam seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman wajib yang laku
dipasaran
b. Hasil dari tanaman tersebut diserahkan
kepada Belanda. Apabila hasil tanaman terdapat kelebihan pajak maka akan
dikembalikan kepada petani
c. Waktu penanaman tidak boleh melebihi
tanaman padi
d. Kegagalan panen sepenuhnya tanggung jawab
pemerintah
e. Wajib tanam dapat diganti dengan tenaga
kepada Belanda dengan mempekerjakan selama 66 hari
f. Pengawasan tanam paksa sepenuhnya diawasi
oleh kepala-kepala pribumi sedangkan pemerintah Belanda pengawasan secara umum
AKIBAT
TANAM PAKSA
A.
Bagi Indonesia :
a. Sawah dan ladang menjadi terbengkalai
karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun
drastis
b. Beban rakyat semakin berat karena harus
menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja
rodi, dan menanggung resiko apabila gagal panen
c. Menimbulkan tekanan fisik dan mental yang
berkepanjangan
d. Timbulnya kemiskinan
e. Timbulnya wabah penyakit dan kelaparan
sehingga menimbulkan angka kematian
secara drastis
Selain itu kehidupan rakyat kecil (ekonomi
rakyat) makin berat karena penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus
bekerja selama 73 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah
yang menjadi semacam pajak.
B.
Bagi Belanda :
a. Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda
b. Hutang-hutang Belanda terlunasi
c. Kas negara Belanda dapat terpenuhi
d. Penerimaan pendapatan lebih besar dari
anggaran belanja
e. Perdagangan berkembang pesat
f. Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota
pusat perdagangan dunia
AKHIR
TANAM PAKSA
Sistem
tanam paksa ini telah mendapat protes dari berbagai kalangan di Belanda
seperti:
- Golongan Pengusaha
Golongan ini menganggap bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan
ekonomi liberal
- Baron Van Hoevel
Sistem tanam paksa menurut Baron Van Hoevel sangat kejam dan tidak
manusiawi sehingga ia mengecam untuk menghapus sistem tanam paksa saat dirinya
menjadi seorang anggota parlemen.
- Eduard Douwes Dekker
Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah
Belanda secara berangsur-angsur menghapus sistem tanam paksa pada tahun 1870,
meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.
Sistem Ekonomi ke- 3 dan terakhir pada jaman
penjajahan yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah sistem ekonomi
kapitalis liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi pemerintah tetapi
pengusaha swasta, sedangkan pemerintah sekedar sebagai penjaga dan pengawas melalui
peraturan-peraturan perundang-undangan. UU pertama yang menandai sistem baru
ini dalah UU Agrari tahun 1870, yang memperbolehkan perusahaan-perusahan perkebunan
swasta menyewa lahan-lahan yang luas untuk jangka waktu sampai 75-99 tahun,
untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit atau untuk
tanaman semusim seperti tebu dan tembakau.
Tabel dibawah ini menggambarkan produksi
gula, minyak, karet, kopi tembakau, kopra dan komoditi lainnya yang
dieksploitasi oleh pihak kolonial dari kurun waktu tahun 1840 sampai dengan
1849.
Tabel 1.1 Surplus
Eksploitasi Komoditi Indonesia
1840-1844
|
1845-1849
|
||
Coffee
|
40.278
|
24.549
|
|
Sugar
|
8.218
|
4.136
|
|
Indigo
|
7.836
|
7.726
|
|
Pepper,Tea
|
647
|
1.725
|
|
Total net profits
|
39.341
|
35.057
|
Pada saat tanaman-tanaman perdagangan ini
mulai dikembangkan, dibeberapa daerah rakyat sudah lebih dulu menanaminya,
sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar dengan
perkebunan-perkebunan rakyat. Dalam persaingan antara dua sub-sistem inilah
mulai muncul masalah masalah peranan yang tepat dan adil dari pemerintah.
Disatu pihak pemerintah ingin agar perusahaan-perusahaan besar memperoleh
untung besar sehingga pemerintah mendapat bagian keuntungan berupa pajak-pajak
perseroan atau pajak pendapatan dari staf dan karyawan.
Tabel dibawah ini menggambarkan
penerimaan perusahan swasta besar kolonialis yang mengeksploitasi dan menjual
berbagai komoditi ekspor ke pasaran Eropa dari tahun (1831-1870).
Tabel 1.2 Surplus Perusahaan
Swasta Besar Kolonia
1831/40 1841/50 1851/60 1861/70
|
Gross
revenues of sale of colonial products 227.0 473.9 652.7
641.8
|
Costs
of transport etc (NHM) 88.0 165.4 138.7
114.7
|
Sum
of expenses 59.2 175.1 275.3 276.6
|
Total
net profits* 150.6 215.6 289.4 276.7
|
- KEBAIKAN SISTEM EKONOMI KAPITALISME LIBERAL :
a. adanya
kebebasan berusaha, berinivasi dan berkreativitas dalam melakukan kegiatan
ekonomi.
b. Persaingan
antar pengusaha mendorong kemajuan teknologi
c. Hak
milik perorangan diakui
d. Kebebasan
ekonomi sangat bermanfaat untuk masyarakat
e. Persaingan
bebas dalam individu akan mewujudkan tahap “produksi” dan “harga” pada tingkat
yang wajar dan akan membantu mempertahankan penyesuaian yang rasional diantara
kedua variabel tersebut.
f. Pengawasan politik dan sosial minimal karena
waktu dan tenaga yang diperlukan lebih sedikit.
- KEBURUKAN SISTEM EKONOMI KAPITALISME LIBERAL :
- Penindasan atau eksploitasi terhadap manusia
- Tidak adanya pemerataan pendapatan
- Timbul praktik monopoli yang merugikan masyarakat
- Tidak ada persaingan sempurna melainkan persaingan monopolistik
- Sistem harga gagal mengalokasikan sumber-sumber secara efisien
ERA PENDUDUKAN JEPANG
Pada
zaman pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang
dengan pemasaran dalam negeri yang makin luas ditambah pasar luar negeri yang
ditinggalkan perkebunan-perkebunan besar yang mulai mundur. Dan dalam hal
komoditi tebu di Jawa tanaman tebu rakyat mulai berperan besar menyumbang pada
produksi gula merah (gula mangkok) baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun
ekspor. Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing
mengelola industri gula di Jawa membuat keputusan mengagetkan dengan Inpres
No.9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi
(TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta) menyewa lahan
milik petani.
Semua
tanah sawah dan tanah kering harus ditanami tebu
rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul khususnya secara ekonomis
dibanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang paling penting pemerintah
ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi antara pabrik-pabrik
gula dan rakyat pemilik tanah. Kebijaksanaan TRI ini gagal total karena
mengabaikan kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah sangat sempit, yang
mempunyai pilihan (alternatif) untuk ditanami padi.
Karena
tebu sebagai bahan baku untuk gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan
untuk padi tidak, maka dimanapun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan
untuk menaikkan produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula
merosot), dan Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat,
dan membuat kerusakan besar pada industri gula di Jawa. Dewasa ini industri gula di Jawa termasuk salah satu industri yang paling maju di Indonesia.
CITA-CITA EKONOMI MERDEKA
Sistem
ekonomi kolonial mewariskan struktur ekonomi yang sangat timpang. Struktur
ekonomi terkait dengan kekuasaan dan kemampuan ekonomi-politik sehingga mereka
yang masuk dalam kelompok atas meskipun jumlahnya sedikit namun menguasai dan
menikmati banyak surplus perekonomian nasional.
Hal
yang berkebalikan menimpa kelompok ekonomi bawah yang jumlahnya mayoritas namun
menguasai dan menikmati hasil produksi dalam taraf yang sangat minimal. Gambaran riil perihal struktur ekonomi
dapat diilustrasikan melalui hasil observasi Hatta yang memetakan struktur
ekonomi Indonesia pada masa kolonial Belanda kedalam tiga golongan besar :
1)
Golongan Atas, yang terdiri dari bangsa Eropa (khususnya Belanda) yang
menguasai dan menikmati hasil penjualan komoditi pertanian dan perkebunan di
negeri jajahan mereka.
2)
Golongan Menengah, yang 90% terdiri dari kaum perantara perdagangan, khususnya
dari etnis Tionghioa (China), yang mendistribusikan hasil-hasil produksi
masyarakat jajahan ke perusahaan besar dan ekonomi luaran. Dalam kelompok ini
terdapat 10% bangsa Indonesia yang mampu menguasai dan menikmati hasil
perekonomian karena mempunyai kekuasaan (jabatan) tertentu (elit), itu pun berada
diposisi paling bawah pada lapisan ini.
3)
Golongan bawah, yang terdiri dari massa rakyat pribumi yang bergerak pada
perekonomian rakyat, yang tidak mampu menguasai dan menikmati hasil-hasil
produksi mereka karena berada dalam sistem ekonomi kolonialis.
Dalam
pandangan para founding fathers, terutama Soekarno-Hatta, merdeka berarti merdeka
secara politik dan ekonomi. Untuk itu, pasca kemerdekaan perlu adanya reformasi
sosial, yaitu suatu agenda nasional untuk mengganti sistem ekonomi kolonial
dengan sistem ekonomi nasional, guna menghapus pola hubungan ekonomi yang
timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia dan
mengubah struktur sosial-ekonomi warisan kolonial yang jauh dari nilai-nilai
keadilan sosial tersebut.
“Demokrasi politik saja tidak dapat
melaksanakan persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita
demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup
yang menentukan nasib manusia” (Hatta,1960).
Hal
itu antara lain disebabkan oleh kesadaran bung Hatta bahwa perbaikan kondisi
ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan,
Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat terus dilanjutkan dengan
mengubah struktur ekonomi nasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Karno,
yang dimaksud dengan struktur ekonomi nasional adalah sebuah struktur
perekenomiaan yang ditandai oleh meningkatnya
peran serta rakyat Indonesia dalam penguasaan modal atau faktor-faktor
produksi di tanah air.
Reformasi
sosial hanya memungkinkan melalui demokratisasi ekonomi, dimana kolektivitas
(kekeluargaan dan kebersamaan) menjadi dasar pola produksi dan distribusi (mode
ekonomi). Sebagaimana ditulis Hatta, “Di atas sendi yang ketiga (cita-cita
tolong-menolong-pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi.
Tidak
lagi seorang atau golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak
seperti sekarang, melainkan kerpeluan dan kemauan rakyat yang banyak harus
menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu segala tangkai
penghasilan yang besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada
milik bersama dan terletak dibawah penjagaan rakyat dengan perantara
badan-badan perwakilannnya” (Hatta,1932).
Agenda
reformasi sosial berupa demokratisasi ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia telah dirumuskan sebagai cita-cita konstitusional
yang termaktub dalam filosofi Pancasila dan UUD 1945 khsususnya pasal 33.
Muhammad Hatta merumuskannnya dalam sebuah konsep tentang Sistem Ekonomi
Indonesia, yaitu Sistem Ekonomi Kerakyatan. Dalam sistem ekonomi kerakyatan ,
semua aktivitas ekonomi harus disatukan dalam organisasi koperasi sebagai
bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan. Hanya dalam asas kekeluargaan dapat
diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh
semua, untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi oleh anggota
masyarakat sendiri.Konsep Sistem Ekonomi Kerakyatan inilah yang kemudian
dituangkan dalam UUD 1945 sebagai dasar sistem perekonomian nasional.
Penjelasan
pasal ini menyebutkan bahwa dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi,
dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau
pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan
bukan kemakmuran perorangan. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Perwujudan
substansi demokrasi ekonomi tersebut dapat ditemukan pada bagian lain dalam UUD
1945. Konsep “produksi oleh semua” dirumuskan dalam pasal 27 ayat (2) yang
berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”. Ayat ini mengindikasikan penekanan demokrasi ekonomi
pada masalah pengangguran dan peningkatan kesejahteraan sosial tenaga kerja
(buruh).
Konsep
“produksi untuk semua” dipertegas dalam pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin
dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Pasal ini mengindikasikan
bahwa penyelenggaraan demokrasi ekonomi juga menekankan perhatian pada pola
alokasi dan konsumsi utamanya yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan
penduduk miskin. Politik alokasi dilakukan oleh negara melalui instrument
belanja publik yang harus mampu memberikan jaminan sosial bagi penduduk miskin
kelompok rentan (vulnerable).
Konsep
“produksi dibawah pimpinan dan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat” dapat
diwujudkan melalui keberadaan rakyat banyak yang terhimpun dalam
serikat-serikat ekonomi. Pasal 28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang” member arahan bagi kebersatuan ekonomi rakyat
tersebut. Pasal ini mengindikasikan perlunya keberdayaan wadah-wadah perjuangan
ekonomi rakyat seperti halnya koperasi dan serikat pekerja dalam
penyelenggaraan demokrasi ekonomi di Indonesia.
Peranan
anggota-anggota masyarakat dalam penguasaan dan kontrol perekonomian hanya
dimungkinkan melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat
didorong melalui pendidikan. Pasal 31 yang berbunyi “setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan” mengindikasikan pentingnya akses pendidikan, yang juga
perlu didukung akses terhadap kesehatan, yang wajib disediakan oleh negara
dalam rangka penyelenggaraan demokrasi ekonomi. Anggota-anggota masyarakat yang
terdidik dan sehat akan mampu berpengaruh besar dalam perekonomian nasional.
Penguasaan
dan kontrol anggota-anggota masyarakat terhadap faktor produksi diformulasikan
melalui peranan negara yang vital dalam perekonomian, yang tercantum dalam
ayat 2 dan 3 pasal 33 UUD 1945. Dalam
rangka demokrasi ekonomi maka negara yang merupakan perwujudan angota-anggota
masyarakat menguasai dan memegang kontrol pengelolaan atas cabang-cabang
produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Berdasarkan
cita-cita konstitusional tersebut maka dipahami perlunya peran negara yang kuat
untuk menyusun (mengatur) perekonomian (tatanan, bangun usaha dan wadah ekonomi)
nasional dan dihindarkannya perekonomian nasional yang (kembali) dikuasai
bangsa dan korporasi asing (kekuatan pasar bebas). Negara perlu mengarahkan
agar bangun usaha ekonomi yang tumbuh berkembang adalah bangun usaha yang
bertumpu pada usaha bersama (kolektivitas) dan berasas kekeluargaan
(kebersamaan) seperti-halnya koperasi, dan bukannya kembali bertumpu pada asas
perorangan (individual-korporasi) dan persaingan bebas (kapitalistik-liberal).
Berpijak
pada dasar hukum itu pula maka negara berperan vital dalam menguasai dan
mengelola cabang (faktor-faktor) produksi dan asset strategi nasional yang
penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang pengelolaannya dilakukan
melalui keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Peranan
swasta dimungkinkan sebatas pada aktivitas ekonomi yang faktor produksinya
tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Hal ini karena sesuai amanat
konstitusi (penjelasan Pasal 33) bahwa jika tampak produksi jatuh ke tangan
orang perorang, maka rakyat yang banyak akan ditindasinya persis akan terjadi
kembali seperti pada era sistem ekonomi
kolonial dimana ekonomi rakyat ditindasi pemerintah dan korporasi asing
(kolonial).
PEREKONOMIAN INDONESIA PERIODE
KEMERDEKAAN
Periode
Kemerdekaan dimulai sejak Soekarno-Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia
(Proklamasi Republik Indonesia) tanggal 17 Agustus 1945 sampai saat ini.
Secara
politis, periode kemerdekaan dibagi menjadi tiga sub periode:
- Periode Orde Lama
- Periode Orde Baru
- Periode Reformasi
1. PEMERINTAHAN ORDE LAMA (1945-1966)
Pada
tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Setelah itu,
khususnya pada tahun-tahun pertama setelah merdeka, keadaan ekonomi Indonesia
sangat buruk ; ekonomi nasional boleh dikatakan mengalami stagflasi. Defisit
saldo neraca pembayaran dan defisit keuangan pemerintah sangat besar: kegiatan
produksi disektor pertanian dan sektor industri manufaktur praktis terhenti;
tingkat inflasi sangat tinggi, hingga mencapai lebih dari 500% menjelang akhir
periode orde lama. Semua ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, yang penting diantaranya adalah
penduduk jepang, Perang Dunia II, perang revolusi, dan manajemen ekonomi makro
yang sangat jelek (Tambunan,1991,1996).
Dari
tahun 1949 sampai 1956 Pemerintah Indonesia menerapkan suatu sistem politik
yang disebut demokrasi liberal. Setelah itu terjadi transisi ke sistem Politik
yang disebut “demokrasi terpimpin”, yang berlangsung dari tahun 1957 hingga
1965. Berbeda dengan periode sebelumnya, pada zaman demokrasi terpimpin
kekuasaan militer dan almarhum Presiden Soekarno sangat besar, sedangkan pada
periode demokrasi liberal kekuasaan ada ditangan sejumlah partai politik, dua
diantaranya yang paling besar adalah Partai Masjumi dan Partai Nasional
Indonesia (PNI).
Dapat
dikatakan bahwa Indonesia pernah mengalami sistem politik yang sangat
demokratis, yakni pada periode 1949-1956. Akan tetapi sejarah Indonesia
menunjukkan bahwa sistem politik demokrasi ternyata menyebabkan kehancuran
politik dan perekonomian nasional.
Selama
periode 1950-an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman
kolonialisasi. Sektor formal atau modern, seperti pertambangan, distribusi,
transportasi, bank, dan pertanian komersil,yang memiliki kontribusi lebih besar
daripada sektor informal/tradisional terhadap output nasional atau produk
domestik bruto (PDB) didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing yang
kebanyakan berorientasi ekspor. Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang
masih dikuasai oleh pengusaha asing tersebut relatif lebih padat kapital
dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi
dan berlokasi dikota-kota besar, seperti
Jakarta dan Surabaya.
Struktur
ekonomi seperti yang digambarkan diatas, yang oleh Boeke (1954) disebut dual
societies, adalah salah satu karakteristik utama dari negara-negara yang sedang
berkembang (LDSc) yang merupakan warisan
kolonialisasi. Dualisme didalam struktur ekonomi seperti ini terjadi karena
biasanya pada masa penjajahan pemerintah yang berkuasa menerapkan diskriminasi
dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat langsung, seperti mengeluarkan
peraturan peraturan atau unudang-undang, maupun yang tidak langsung. Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat perbedaan dalam kesempatan melakukan
kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk asli dan orang orang non pribumi/non
lokal.
Keadaan
ekonomi Indonesia, terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua
perusahaan asing di tanah air, termasuk perusahaan milik Belanda, menjadi lebih
buruk dibandingkan keadaan ekonomi pada masa penjajahan Belanda, ditambah lagi
dengan peningkatan laju inflasi yang
sangat tinggi pada dekade 1950-an. Pada
masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang
cukup baik dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama
karena tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi
yang juga rendah, tingkat efisiensi yang tinggi disektor pertanian, termasuk
perkebunan dan nilai mata uang yang stabil (Allen dan Donnithorne,1957).
Selain
kondisi politik didalam negeri yang tidak mendukung, buruknya perekonomian
Indonesia pada masa pemerintahan orde lama juga disebabkan keterbatasan
faktor-faktor produksi, seperti
orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi,
tenaga kerja dengan keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun
infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industri), teknologi, dan kemampuan
pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi untuk pembangunan yang
baik.
Menurut
pengamatan Higgins (1957), sejak kabinet pertama dibentuk setelah merdeka,
pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri, unfikasi dan rekonstruksi. Akan
tetapi akibat keterbatasan faktor-faktor tersebut diatas dan dipersulit lagi
oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya pembangunan atau bahkan
rekonstruksi ekonomi Indonesia setelah perang revolusi tidak pernah terlaksana
dengan baik.
Nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda dan perusahaan asing lainnya yang dilakukan pada
tahun 1957-1958 adalah awal dari periode “ekonomi terpimpin” (guided economy). Sistem poltik dan
ekonomi pada masa orde lama khususnya setelah “ekonomi terpimpin” dicanangkan,
semakin dekat dengan haluan/pemikiran sosialis/komunis. Walaupun ideologi
Indonesia adalah Pancasila, pengaruh ideologi komunis dari negara bekas Uni
Soviet dan Cina sangat kuat. Sebenarnya pemerintah dan khususnya masyarakat
Indonesia pada umumnya memilih haluan poltik yang berbau komunis hanya merupakan
suatu refleksi dari perasaan antikolonialisasi, antiimperalisasi,
antikapitalisasi pada saat itu. Di Indonesia pada masa itu prinsip-prinsip
individualisme, persaingan bebas, dan perusahaan swasta dan pribadi sangat
ditentang karena oleh pemerintah dan masyarakat umumnya prinsip-prinsip
tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme.
Keadaan
ini membuat Indonesia semakin sulit mendapat dana dari negara-negara Barat baik
dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing (PMA), sedangkan untuk membiayai
rekonstruksi ekonomi dan pembangunan selanjutnya Indonesia sangat membutuhkan
dana yang sangat besar (Hill,1989). Hingga akhir dekade 1950-an, sumber utama
penanaman modal asing di Indonesia berasal dari Belanda yang sebagian besar
digunakan untuk kegiatan ekspor hasil-hasil perkebunan dan pertambangan serta
untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait.
Pada
akhir bulan September 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mencapi
puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia
(PKI). Sejak terjadi peristiwa tersebut terdapat suatu perubahan politik yang
drastis didalam negeri, yang selanjutnya juga mengubah sistem ekonomi yang
dianut di Indonesia pada masa orde lama, yakni dari pemikiran-pemikiran
sosialis ke semikapitalis (kalau tidak dapat dikatakan ke sistem kapitalis
sepenuhnya). Sebenarnya perekonomian Indonesia menurut UUD 1945 menganut suatu
sistem yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi
berdasarkan ideologi Pancasila. Akan tetapi, dalam praktek sehari-hari pada
masa pemerintahan orde baru dan hingga saat ini pola perekonomian nasional
cenderung memihak sistem kapitalis, seperti di AS atau negara-negara industri
maju lainnya yang karena pelaksanaannya tidak baik mengakibatkan munculnya
kesenjangan ekonomi ditanah air, terutama setelah krisis ekonomi.
2. PEMERINTAHAN ORDE BARU
(1966-1998)
Tepatnya
sejak bulan Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan orde baru. Berbeda
dengan pemerintahan orde lama, dalam orde baru ini perhatian pemerintah lebih
ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi
dan sosial ditanah air. Pemerintahan orde baru menjalin hubungan baik dengan
pihak Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali
menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia
lainnya, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Sebelum
rencana pembangunan lewat repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah
melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi
ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut adalah untuk menekan
kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan
menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor, yang sempat mengalami
stagnasi pada masa orde lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan
penyusunan rencana pembangunan lima tahun secara bertahap dengan target-target
yang jelas sangat dihargai oleh negara-negara Barat.
Tujuan
jangka panjang pembangunan ekonomi Indonesia pada masa orde baru adalah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi
dalam skala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang
paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti
kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.
Pada
bulan April 1969 Repelita I dimulai dengan penekanan utama pada pembangunan
sektor pertanian dan industri-industri yang terkait, seperti agroindustri.
Strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi pada Repelita I terpusat pada
pembangunan industri-industri yang dapat menghasilkan devisa lewat ekspor dan
subtitusi impor, industri yang memproses bahan baku yang tersedia di dalam
negeri, industri-industri yang padat karya, industri-industri yang mendukung
pembangunan regional, dan juga industri-industri dasar, seperti pupuk, semen,
kimia dasar, pulp, kertas, dan tekstil.
Dampak
Repelita I dan repelita-repelita berikutnya terhadap perekonomian Indonesia
cukup mengagumkan, terutama dilihat pada tingkat makro. Proses pembangunan
berjalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata pertahun yang cukup
tinggi jauh lebih baik daripada selama pemerintah orde lama dan juga relatif
tinggi daripada laju rata-rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok LDSc.
Perkiraan laju pertumbuhan PDB Indonesia selama periode 1960-1966 yang hanya
tumbuh rata-rata pertahun 1,90% dibandingkan rata-rata diatas 6% selama periode
1966-1978. Secara sektoral, dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan output
disektor industri sejak pemerintahan orde baru berkuasa juga meningkat drastis
dibandingkan sebelumnya. Misalnya, dalam periode 1968-1973 sektor tersebut
diperkirakan mengalami laju pertumbuhan rata-rata pertahun sekitar 13%
dibandingkan hanya 1,9% selama periode 1960-1966. Sektor pertanian, walaupun
lebih kecil dari sektor industri, juga mengalami perbaikan sejak tahun 1966
dengan perkiraan laju pertumbuhan outputnya rata-rata diatas 2% hingga
menjelang akhir dekade 1970-an.
Perubahan
ekonomi struktural juga sangat nyata selama masa orde baru bila dilihat dari
perubahan pangsa PDB, terutama dari sektor pertanian dan sektor industri.
Berdasarkan harga berlaku, kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan
output nasional menurun dari sekitar hampir 54% tahun 1960-an menjadi sekitar
26% tahun 1963. Berdasarkan harga konstan, trend perkembangannya juga sama,
yakni menurun selama periode tersebut. Sedangkan persentase dari PDB yang
berasal dari sektor industri manufaktur meningkat setiap tahun, dari sekitar 8%
(atas dasar harga berlaku) atau 7,6%
(atas dasar harga konstan) pada tahun 1960 menjadi 12% lebih (atas dasar harga
berlaku) atau 15% lebih (atas dasar harga konstan) pada tahun 1983.
Meningkatnya
kontribusi output dari sektor industri manufaktur terhadap pembentukan atau
pertumbuhan PDB selama periode orde baru mencerminkan suatu proses
industrialisasi atau transformasi ekonomi di Indonesia dari negara agraris ke
negara semiindustri.
Pembangunan
ekonomi yang terjadi selama periode orde baru juga berdampak positif terhadap
peningkatan pendapatan masyarakat
perkapita di Indonesia. Peningkatan tersebut terdiri dari empat variabel
makro selama periode 1960-1983, yakni PDB, produk nasional bruto (PNB),
pendapatan domestik bruto (PnDB) dan pendapatan nasional bruto ( PnNB).
Keberhasilan
pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa orde baru tidak saja disebabkan oleh
kemampuan kabinet-kabinet yang dipimpin oleh presiden Soeharto yang jauh lebih
baik atau solid dibanding pada masa orde lama dalam menyusun rencana, strategi,
dan kebijakan ekonomi, tetapi juga berkat penghasilan ekspor yang sangat besar
dari minyak, terutama pada periode krisis atau oil bloom pertama pada tahun
1973/1974. Selain minyak dan pinjaman luar negeri, peranan penanaman modal
asing (PMA), khususnya sejak pertengahan dekade 1980-an terhadap proses
pembangunan ekonomi di Indonesia semakin besar. Boleh dikatakan bahwa kebijakan
Presiden Soeharto yang mengutamakan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik
serta pertumbuhan ekonomi berdasarkan sistem ekonomi terbuka membuat
kepercayaan pihak Barat terhadap prospek ekonomi Indonesia sangat besar
dibandingkan dengan banyak LDSc lainnya.
Proses
pembangunan dan perubahan ekonomi
semakin cepat setelah sejak paro pertama dekade 1980-an pemerintah
mengeluarkan berbagai paket deregulasi yang diawali disektor moneter/perbankan
dan disektor riil dengan tujuan utama meningkatkan ekspor nonmigas Indonesia
dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Dengan adanya
deregulasi-deregulasi tersebut, sistem perekonomian Indonesia secara bertahap
mengalami pergeseran dari yang sangat tersentralisasi (periode 1970-an) menuju
desentralisasi dan peranan sektor swasta semakin besar.
Akan
tetapi, pada tingkat meso dan mikro pembangunan selama ini boleh dikatakan
tidak terlalu berhasil, bahkan dalam banyak aspek semakin memburuk. Jumlah
kemiskinan baik absolute maupun relatif masih tinggi dan tingkat kesenjangan
ekonomi semakin besar. Bahkan, menjelang awal dekade 1990-an kesenjangan
cenderung meningkat. Sebagai reaksi pemerintah terhadap kenyataan diatas,
khususnya pada Repelita VI, orientasi kebijakan-kebijakannya mengalami
perubahan dari penekanan hanya pada pertumbuhan ke pertumbuhan dengan
pemerataan. Untuk mengurangi tingkat kesenjangan dan kemiskinan, pemerintah
menjalankan berbagai macam program, terutama didaerah pedesaan, seperti program
inpres desa tertinggal (IDT), program keluarga sejahtera, dan program-program
pembinaan usaha kecil.
Sebagai
suatu rangkuman, sejak masa orde lama hingga berakhirnya masa orde baru dapat
dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami 2 orientasi kebijakan ekonomi yang
berbeda, yakni dari ekonomi tertutup yang berorientasi sosialis pada zaman
rezim Soekarno ke ekonomi terbuka yang berorientasi kapitalis pada masa
pemerintahan Soeharto. Perubahan orientasi kebijakan ekonomi ini membuat
kinerja ekonomi nasional pada masa pemerintahan orde baru menjadi jauh lebih
baik dibandingkan pada masa pemerintahan orde lama. Kebijakan-kebijakan ekonomi
selama masa orde baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi
ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan
biaya yang sangat mahal (high cost economy) dan fundamental ekonomi yang rapuh.
Hal terakhir ini dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sektor
perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal
asing, termasuk pinjaman, dan impor. Ini semua akhirnya membuat Indonesia dilanda
suatu krisis ekonomi yang besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS pada pertengahan tahun 1997.
3. PEMERINTAHAN REFORMASI
(1998-Sekarang)
Pada
awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan
investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan
dan kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional
dan menuntaskan semua permasalahan yang ada didalam negeri yang warisan rezim orde baru, seperti korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN); supremasi hukum; HAM; Tragedi Trisakti dan Semanggi
I dan II; Peranan ABRI didalam politik; masalah disintegrasi; dan lain-lain.
Dalam
hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB
mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan
perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir
mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI)
juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai
stabil.
Akan
tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia ke empat
tidak berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan
ucapan-ucapan kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden
cenderung bersikap diktator dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif,
bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan
reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya pemerintahan reformasi, tetapi
tetap tidak berbeda dari rezim orde baru. Sikap presiden tersebut juga
menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya adalah dikeluarkannnya
peringatan resmi kepada presiden lewat Momerandum I dan II. Dengan dikeluarkannya
memorandum II, Presiden terancam akan diturunkan dari jabatannya jika usulan
percepatan Sidang Istimewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama
pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satupun masalah didalam negeri yang dapat
terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa
disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik
Maluku dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh
semakin gencar yang semakin mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap
kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite politik semakin
besar.
Selain
itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan
IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No.23 tahun 1999
mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah terutama menyangkut kebebasan
daerah untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus
tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF
menunda pencairan bantuannya kepada Pemerintah Indonesia, padahal roda
perekonomian Indonesia saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu,
Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor)
karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan perekonomian yang semakin
memburuk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin
mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo pada tahun
2002 mendatang. Bahkan Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika
kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan
politik dan sosial yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman
Wahid menaikkan tingkat country risk
Indonesia. Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan antara IMF dengan
pemerintah Indonesia. Hal ini membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor
asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di
Indonesia. Akibatnya kondisi perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan
reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi.
Kalau
kondisi seperti ini berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia
akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa
kembali negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh
untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for
all. Pemerintah cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan
mengganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank
Indonesia, desentralisasi fiskal, restrukturisasi utang, divestasi BCA dan Bank
Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang kontroversial dan
inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT
G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar
negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense
of crisis terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.
Fenomena
makin rumitnya perekonomian Indonesia ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi.
Indikator pertama yaitu pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) antara 30
Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan growth trend yang negatif. Dalam
perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih 300 poin yang
disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian
dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak
percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian Indonesia,
paling tidak untuk periode jangka pendek.
Indikator
kedua, yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat
terhadap pemerintahan reformasi adalah pergerakan nilai tukar rupiah tehadap
dolar AS. Pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp 7000,- per dolar AS dan
pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal
kejatuhan rupiah, menembus level Rp 10.000,- per dolar AS. Untuk menahan
penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agresif terus melakukan
intervensi pasar dengan melepas puluhan juta dolar AS perhari melalui bank-bank
pemerintah. Namun, pada tanggal 12 Maret 2001, ketika istana presiden dikepung
para demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai tukar rupiah
semakin merosot.
Pada
bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh Rp
12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman
Wahid terpilih sebagai presiden Republik Indonesia.
Lemah
dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut berdampak negatif terhadap roda
perekonomian Indonesia yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa
membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan
politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini tentu
karena dua hal. Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada
impor, baik untuk barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku,
maupun barang-barang konsumsi. Kedua, utang luar negeri (ULN) Indonesia dalam
nilai dolar AS, baik dari sektor swasta maupun pemerintah sangat besar.
Indikator-indikator
lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit dan
cadangan devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 Miliar
dolar AS menjadi 28,875 dolar AS.
Contoh Kasus :
SATURDAY, 25
FEBRUARY, 2017 | 12:16 WIB
King Salman`s Visit a Historic Moment for
Indonesia
TEMPO.CO, Jakarta - The upcoming visit by King
Salman bin Abdulaziz al-Saud of Saudi Arabia from March 1 to 9, 2017 will be a
historic moment for Indonesia because there has been no such a trip for 47
years.
Boarding four Boeing B747-400 and 200,
two Boeing B777, and two C-130 Hercules aircraft, the king of Saudi Arabia and
his entourage of about 1.5 thousand people, including 10 ministers and 25 princes
will arrive in Jakarta on March 1 for a state visit and vacation in
Indonesia.
During the historic visit to Indonesia
by King Salman, five fields of cooperation that have been agreed will be
discussed, namely about the promotion of the arts and cultural heritage,
exchange of experts including the health of Hajj and Umrah, the promotion of
modern Islam through preaching and the exchange of scholars, increasing the
frequency of flights from Indonesia to Saudi, as well as combating cross-border
crime.
Other economic cooperation that will
also be discussed is about the construction of oil refinery in Cilacap, Central
Java, as the result of cooperation between Saudi Aramco and Pertamina with an
investment of US$6 billion.
The visit is also related to the realization
of the Hajj quota increase, and the protection of Indonesian citizens in Saudi
Arabia, as well as those who perform the pilgrimage and umrah.
In the meantime, Middle East observer
of the University of Indonesia Dr. Yon Machmudi has opined that the visit of
the king of Saudi Arabia will have a very significant meaning and strategy for
both countries.
"Seen from two sides, this visit
to Indonesia is very important because first, it will be the first for the king
of Saudi Arabia since the past 47 years, and the second is the change in world
politics, especially in the United States which is hostile to Islam and the
Middle East," Machmudi remarked here on Friday.
In fact, the PhD graduate from the
Australian National University said that since the New Order eras all
Indonesian presidents Abdurrahman "Gus Dur" Wahid, Megawati
Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, as well as Joko Widodo (Jokowi) had
made several visits to Saudi Arabia.
But the absence of the visit to
Indonesia by the king of Saudi Arabia since 1970 up to this day is anything
unusual, according to the Middle East observer.
Machmudi noted that discriminatory
policies of US President Donald Trump against Islam and the Middle East had
made investors from Middle East counties feel uncomfortable.
"But Indonesia as the largest
Muslim country in the world begins to become the target of investors from
countries in the Middle East region," he said.
Machmudi opined that since the
leadership of King Abdullah (2005-2015), there has been a shift in the
direction of the foreign policy of Saudi Arabia by making Asia as an
alternative partner in place of Western hegemony.
"In 2050 Indonesia is predicted
to become four major economic power house that will be very potential to be an
alternative to Saudi investors," he noted.
The Jakarta Metropolitan Police is
prepared to provide security during the visit of King Salman to Jakarta.
Police personnel will be deployed on
the roads from Halim Perdanakusuma Airport in East Jakarta to the Bogor
Presidential Palace, some 40 kilometers south of Jakarta, on March 1, Spokesman
for the Jakarta Metropolitan Police Senior Commissioner Argo Yuwono said here
on Thursday.
From the Bogor Presidential Palace,
the Saudi king and entourage will visit the House of Representatives/Peoples
Consultative Assembly (DPR/MPR) Building and perform prayers at Istiqlal Mosque
in Jakarta on the following.
Argo said the Jakarta Metropolitan
Police and the Presidential Security Guards (Paspampres) have a standard
operating procedure to provide security arrangement for the Saudi king's visit.
Traffic police officers will also be
deployed to regulate traffic on the roads where the Saudi king and entourage
will pass through, he said.
Argo refused to divulge where the
Saudi king and entourage will stay and how many police personnel will be
involved in the security arrangement.
From Jakarta, the Saudi king's
entourage will proceed their journey to the Indonesian island resort of Bali on
March 4 for a six-day vacation.
President Joko Widodo (Jokowi) is
scheduled to pick up and greet the king on his arrival at the Halim
Perdanakusuma Airport in Indonesia on March 1.
Presidential Secretariat Media
and Press Bureau Chief Bey Machmudin remarked here on Thursday that King Salman
will arrive in Indonesia for a state visit on March 1 and will stay until March
9 for a holiday in Bali.
While chairing a limited cabinet
meeting on Tuesday, President Jokowi also discussed King Salmans planned visit
to Indonesia.
During the first three days, King
Salman is scheduled to undertake an official state visit, while he and his
entourage will be on vacation in Bali for the next six days.
Tourism Minister Arief Yahya, in
a statement made available to Antara
News on Thursday, said the
Saudi Kings vacation in Bali will boost tourism in the island resort.
The profile and popularity of Bali are
believed to rise sharply, following the arrival of an influential global
figure, such as King Salman of Saudi Arabia.
"Welcome to Indonesia," the
minister of tourism said in a message to the King of Saudi Arabia.
Yahya expressed hope that King
Salman's visit would encourage more Middle Eastern tourists to visit Indonesia.
1) What:
Raja
Salman Berkunjung ke indonesia
2) Who :
Rombongan
raja salman dan masyarakat indonesia
3) Where :
di Jakarta
4) When :
1 Maret 2017
5) Why:
Selama
kunjungan bersejarah ke Indonesia oleh Raja Salman, lima bidang kerja sama yang telah disepakati akan Dibahas yaitu
tentang promosi seni dan warisan budaya, pertukaran tenaga ahli Termasuk
kesehatan Haji dan Umrah, promosi modern Islam melalui Khotbah dan pertukaran
ulama, meningkatkan frekuensi penerbangan dari Indonesia ke Saudi, serta
memerangi kejahatan lintas batas.
kerjasama
ekonomi lainnya yang juga akan dibahas adalah tentang pembangunan kilang minyak
di Cilacap, Jawa Tengah, sebagai hasil kerjasama antara Saudi Aramco dan
Pertamina dengan nilai investasi US $ 6 miliar.
Juga
kunjungan tersebut terkait dengan realisasi peningkatan kuota haji adalah, dan
perlindungan warga negara Indonesia di Arab Saudi, serta Ulasan mereka yang
melakukan ibadah haji dan umrah.
6) How:
Bermula
pada saat itu raja Salman mengirimkan sebuah surat pada presiden Joko widodo.
Hal ini merupakan kunjungan bersejarah karena terakhir kali Raja Saudi berkunjung ke Indonesia
47 tahun yang lalu. Ketika itu pesawat kerajaan yang ditumpangi Raja Faisal bin
Abdulaziz mendarat di Bandara Kemayoran.
KESIMPULAN KASUS :
Jakarta, 1 Maret 2017
Rombongan Raja Saudi Arabia Berkunjung ke Indonesia dan kunjungan ini adalah
salah satu yang bersejarah sebab sudah 47 tahun raja Saudi Arabia tidak
berkunjung ke indonesia. Dampak dari Kunjungan tersebut bagi perekonomian
indonesia adalah:
Pendanaan
Arab Saudi terhadap pembiayaan proyek pembangunan antara Saudi Fund for
Development dan Pemerintah Indonesia.
Nota
kesepahaman kerjasama kebudayaan antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
RI dengan Kementerian Kebudayaan dan Informasi Kerajaan Arab Saudi.
Program
kerja sama antara Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI dengan
Otoritas Usaha Kecil dan Menengah Kerajaan Arab Saudi mengenai pengembangan
usaha kecil dan menengah.
Nota
kesepahaman antara Kementerian Kesehatan RI dengan Kementerian Kesehatan
Kerajaan Arab Saudi di bidang kerja sama kesehatan.
Program
kerja sama Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI dan
Kementerian Pendidikan Kerajaan Arab Saudi dalam bidang kerjasama scientific dan
pendidikan tinggi.
Nota kesepahaman antara pemerintah RI dan pemerintah
kerajaan Arab Saudi di bidang kerja sama kelautan dan perikanan.
Program
kerja sama perdagangan antara Kementerian Perdagangan RI dan Kementerian
Perdagangan dan Investasi Kerajaan Arab Saudi.
Perjanjian
kerja sama dalam pemberantasan kejahatan antara Kepolisian RI dan Kementerian
Dalam Negeri Kerajaan Arab Saudi.
DAFTAR PUSTAKA
Rahardja,
Prathama,dkk. 2008. Teori Makro Ekonomi.
Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Tambunan,
Tulus. 2001. Perekonomian Indonesia.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Santosa,
Awan. 2013. Perekonomian Indonesia.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
R,Hafni.2014.Pengertian dan Sejarah Tanam Paksa.www.materisma.com/2014/01/sejarah- pelaksanaan-sistem-tanam-
paksa.html, 20 Maret 2017.Pukul 19:48.
Supriyadi. 2013. Monopoli Perdagangan VOC di Indonesia. http://www.sejarah- negara.com/2013/09/monopoli-perdagangan-VOC-di-Indonesia.html,
20 Maret 2017. Pukul 20:01.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus