Softskill Perekonomian Indonesia
Disusun Oleh :
1. Alfi Akhdan Rafif (20216549)
2. Bintang Putri Lestari (21216450)
3. Lola Cristiyanti Marbun (24216089)
4. Muhammad Malik Hasan (24216992)
-1EB21-
Disusun Oleh :
1. Alfi Akhdan Rafif (20216549)
2. Bintang Putri Lestari (21216450)
3. Lola Cristiyanti Marbun (24216089)
4. Muhammad Malik Hasan (24216992)
-1EB21-
UNIVERSITAS GUNADARMA
2016/2017
A. Konsep dan Tujuan Industrialisasi
Dalam sejarah pembangunan ekonomi, konsep
industrialisasi berawal dari proses revolusi industrialisasi yang pertama
dimulai pada pertengahan abad ke-18 di Inggris dengan penemuan metode baru
untuk permintaan dan penenunan kapas yan menciptakan spesialisasi dalam
produksi dan peningkatan produktivitas. Setelah itu inovasi dan penemuan baru
dalam pembuatan besi baja, kereta api, kapal tenaga uap, dan modus transportasi
yang lain. Perkembangan – perkembangan tersebut menyebabkan peningkatan
perdagangan internasional dan
tersebarnya industrialisasi ke negara lain di Eropa dan Amerika Serikat.
Setelah itu revolusi kedua berlangsung pada
periode 1870-1913 yang terjadi dengan berbagai perkembangan teknologi. Kemudian
setelah perang dunia kedua, perekonomian dunia memasuki zaman emas dimana
terjadi peningkatan produksi dan perdagangan
internasional yang pesat. Selain iklim liberalisasi perdagangan yang
dimotori oleh Amerika Serikat setelah perang dunia kedua , zaman emas 1960-an juga
didasari berbagai inovasi seperti teknologi produksi massal dengan menggunakan assembly line, tenaga listrik, kendaraan
bermotor, penemuan berbagai barang sintetis, dan revolusi teknologi
telekomunikasi, elektronik dan penggunaan robot (World Bank, 1987). Dari sejarah tampak bahwa indutrialisasi
merupakan proses interaksi antara pengembangan tekonologi, spesialisasi dan
perdagangan yang pada akhirnya mendorong perubahan struktur ekonomi.
Umumnya awal proses suatu indutrialisasi
suatu negara tercermin dengan meningkatnya pangsa sektor industri dalam Produk Domestik
Bruto (PDB) dan diperlukan peningkatan produktivitas sektor pertanian . Selain
peningkatan peran sektor industri dalam PDB, pola awal indutrialisasi juga
kecenderungannya dimulai dengan sektor-sektor
tekstil, dan bahan baku utama seperti besi, besi bjaa dan mesin perkakas
yang menggunakan besi baja. Kemudian dilanjutkan ke sektor elektronik dan mikro
elektronik.
B.
Faktor-Faktor Pendorong Industrialisasi
Pembangunan sektor industri pengolahan (manufacturing industry) sering mendapat prioritas utama dalam
rencana pembangunan nasional kebanyakan negara berkembang, karena sektor ini
dianggap sebagai perintis dalam pembangunan ekonomi negara tersebut.
Peranan sektor industri dalam perekonomian negara tersebut lambat
laun menjadi sangat penting. Hal ini tercermin pada sumbangan sektor industi
terhadap Produk Nasional Bruto (GNP) yang semakin meningkat yaitu dari
rata-rata dibawah 10% dari GNP pada tahap awal industrialisasi sampai 25-30% ,
kadang-kadang bahkan sampai 40% dari GNP, jika suatu negara sudah menjadi
negara industri yang dewasa.
Ada tiga faktor yang menerangkan perkembangan sektor industri pada
GNP suatu negara terus meningkat sampai 30-40% dari GNP. Pertama, pada umumnya
proses industrialisasi dicirikan oleh munculnya unit-unit produksi pengolahan (manufacturing establishments) yang lebih
modern dan berskala lebih besar daripada unit-unit produksi kerajinan rakyat
dan industri rumah tangga yang digantikan oleh unit-unit produksi yang lebih
modern. Kedua, pada tingkat perkembangan ekonomi yang masih rendah (pendapatan
perkapita rendah), permintaan masyarakat akan barang jadi pada umumnya
dicirikan oleh elastisitas permintaan terhadap pendapatan (income elasticity of demand) yang tinggi. Artinya, dengan kenaikan
pendapatan rata-rata masyarakat, maka permintaan akan barang-barang meningkat.
Ketiga, proses industrialisasi yang berpola subtitusi (barang) impor dengan barang-barang jadi yang
dihasilkan, yang dimungkinkan oleh proteksi kuat berupa tarif bea masuk yang
tinggi atau kuota (pembatsan kuantitatif) terhadap impor barang-barang jadi.
Oleh karena itu, produksi domestik barang jadi meningkat dengan lebih pesat
daripada konsumsi domestik.
C. Perkembangan Sektor Industri
Manufaktur Nasional
Bila ukuran industrialisasi adalah sumbangan Nilai Tambah Sektor
Manufaktur (NTSM) pada PDB, maka dibandingkan dengan negara lain Indonesia
sungguh tertinggal dalam proses industrialisasi. Pada tahun 1965, tingkat
industrialisasi setara dengan Malaysia, dibawah China, Brasil, Meksiko, Korea,
India, Turki, dan Thailand. Peringkat terbawah ini dipegang terus oleh
Indonesia sampai tahun 1990 pada saat pangsa sektor manufaktur Indonesia
mencapai 20 persen atau jauh kalah cepat dengan Malaysia yang telah mencapainya
pada tahun 1981. Sejak tahun 1990,
sumbangan sektor manufaktur Indonesia terus bertambah hingga pada tahun 1994
telah melampaui Turki, Meksiko, dan
india dan walaupun hamper menyamai Brasil, namun masih dibawah Cina, Malaysia
dan Korea dan Thailand.
Pada awal orde baru EM (Ekspor Manufaktur) hanya merupakan 4 persen dari seluruh ekspor
pada tahun Indonesia, kira-kira setara dengan Brazil, Malaysia, dan Turki.
Sementara Korea sudah menjadi negara pengekspor barang-barang manufaktur pada
tahun tersebut dengan EM 60 persen dari keseluruhan ekspor, atau melampaui
ekspor barang-barang bukan manufaktur. Antara tahun 1965-1982, sementara
negara-negara lain berhasil mengubah komposisi komoditas ekspornya dengan
meningkatkan pangsa EM, pangsa EM Indonesia tidak berubah banyak, malah
cenderung turun. Pada periode tersebut Indonesia sedang menikmati “bonanza
minyak”, di mana minyak dan gas bumi mengambil porsi terbesar ekspor Indonesia
dan mencapai puncaknya pada tahun 1982 ketika ekspor migas menyumbang 75 persen
dari total ekspor.
Pengaruh negatif dari Boom sumber
daya alam terhadap EM ini dalam literature dikenal sebagai Dutch Disease yaitu penerimaan dari ekspor minyak yang dibelanjakan
dalam negeri akan mendorong harga barang- barang non traded meningkat relatif terhadap barang-barang traded. Pada awal tahun 1970-an harga
barang tradable masih berkisar antara
1-1,2 kali harga barang-barang non
tradable.Pada tahun 1977 perbandingan harga tradable/ non tradable telah turun hanya sampia 0,7. Devaluasi
tahun 1978 berhasil meningkatkan harga relatif tradable/ non tradable namun hanya meningkat ke 0,9 kemudian turun
lagi menjadi 0,7 pada tahun 1982. Perubahan harga relatif telah mendorong
peprindahan faktor produksi (modal dan tenaga kerja) dari sektor traded ke sektor non-traded. Dengan berakhirnya boom minyak pada akhir dasawarsa 1980-an, pangsa EM Indonesia naik
pesat sampai melampaui ekspor nonmigas pada tahun 1992. Dengan demikian bila pada tahun 1982, pangsa
EM Korea, Turki, dan Brazil masih 23,10 dan 11 kali pangsa EM Indonesia, hanya
dalam 12 tahun, pangsa EM Indonesia telah menyamai Brazil, 70 persen dari Turki
dan 56 persen dari Korea.
Modal merupakan input utama untuk memproduksi barang-barang
manufaktur, SDA adalah input utama yang padat SDA, tenaga kerja diperlukan baik
oleh sektor manufaktur maupun sektor sektor padat-SDA. Pada tahap awal
pembangunan ekonomi, hanya sedikit modal yang dimiliki sehingga tingkat upah
ditentukan oleh rasio antara kekayaan SDA dan banyakya tenaga kerja. Semakin besar
penguasaan SDA relatif terhadap besarnya tenaga kerja semakin besar tingkat
produktivitas marginal tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkan
barang-barang padat- SDA. Pada tahap ini negara tersbut memiliki keunggulan
komparatif dalam eskpor barang-barang padat SDA sehingga negara tersebut akan
menjadi pengekspor netto barang-barang padat SDA. Dengan berjalannya waktu akan
terjadi pemupukan modal, sehingga keunggulan komparatif akan bergeser ke
sektor-sektor yang memerlukan banyak modal yaitu sekotr manufaktur dan negara
tersebut akhirnya akan menjadi pengeskpor netto produk manufaktur. Salah satu
indikator yang menunjukkan perubahan keunggulan komparatif adalah Indeks Revealed Comparatif Advantage (RCA).
Indeks ini menunukkan perbandingan antara pangsa ekspor komoditas atau
sekelompok komoditas suatu negara terhadap pangsa ekspor komoditas tersebut
dari seluruh dunia.
RCA ij = Xij ∑j Xij
Wj ∑j Wij
Dimana :
Xij = Ekspor komoditas j dari negara i
Wij = Ekspor
komoditas j di dunia
Indeks RCA lebih daripada 1 menunjukkan bahwa negara mempunyai
keunggulan komparatif dalam komoditas j. Berikut evolusi sektor manufaktur
untuk Indonesia dan beberapa negara
pembanding. Korea sudah memiliki keunggulan komparatif dalam sektor manufaktur
sejak 1965 dengan RCA sebesar 1,06. RCA Korea ini naik terus sampai mencapai
puncaknya pada tahun 1980 dengan RCA 1,62.
Sejak tahun 1980, RCA Korea turun terus hingga pada tahun 1994 tinggal
1,20. India juga mencapai puncak RCA pada tahun 1980 dengan RCA setara dengan
Korea pada tahun 1965. Turki dan
Thailand dan Malaysia termasuk negara yang secara cepat terintegrasi ke pasar
internasional. Selama tahun 1965-1994 RCA Turki, Thailand dan Malaysia tumbuh
sebsar rata-rata 11, dan 7,5 persen pertahun.
RCA EM Indonesia tidak banyak berubah sepanjang 1965-1982, bahkan
ada kecenderungan menurun antara tahun 1965-1976. Lamanya proses transportasi
dimana tenaga kerja berpindah dari sektor yang padat SDA kesektor manufaktur
tergantung dari besarnya SDA yang dimiliki suatu negara pada awal pembangunan
ekonomi. Semakin besar SDA yang tersedia pada awal pembangunan semakin besar akumulasi modal yang diperlukan
sampai suatu negara melampaui ambang batas dimana pangsa EM melampaui pangsa
ekspor barang padat SDA. Karunia faktor suatu negara tidak hanya tergantung
dari jumlah SDA yang tersedia secara fisik, tetapi juga bisa meningkat secara
mendadak karena naiknya harga SDA. Dalam kasus Indonesia, migas merupakan
karunia faktor utama mengalami lonjakan harga pada tahun 1972-1982, terutama
pada tahun 1974 dan 1979. Namun, sejak tahun 1982, keunggulan komparatif
Indonesia meningkat pesat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 19 persen per
tahun, hingga pada tahun 1994 RCA EM Indonesia telah meningkat 10 kali lipat
dibandingkan pada tahun 1982. Prestasi ini setara dengan prestasi Turki
sepanjang 1965-1977 yang juga tumbuh 19 persen per tahun. Pada periode tersebut
RCA EM Thailand juga tumbuh pesat sebsar 15 persen per tahun. Bila Indonesia
dapat mempertahankan pertumbuhan RCA EM sebesar 9 persen per tahun maka pada
tahun 2000 RCA EM Indonesia akan melampaui 1. Pada saat itu Indonesia akan
memiliki keunggulan komparatif dalam ekspor produk manufaktur.
Perubahan
Struktur Sektor Manufaktur Indonesia
Dalam proses perkembangan ekonomi terdapat pola umum dalam perubahan
struktur ekonomi. Pertama, sektor manufaktur biasanya tumbuh dengan pesat pada
tahap awal pembangunan ekonomi sampai mencapai puncaknya ketika NTSM mencapai
30 persen dari PDB. Pada tahun 1970-an tahap saturasi ini dicapai Brasil dan
Cina, Korea pada tahun 1980-an, Malaysia dan Thailand pada tahun 1994. Dalam
kasus Indonesia, hal ini tidak sepenuhnya terjadi karena besarnya peran sektor
PDB. Bary sejak pertengahan tahun 1980-an , peran sektor manufaktur berkembang
pesat.
Kedua, sektor manufaktur tumbuh menjadi lebih cepat daripada sektor
pertanian sehingga akhirnya pangsanya melampaui sektor pertanian. Pada tahun
1991 ketika NTSM mencapai 21 persen. Disamping perubahan struktur ekonomi,
diektor manufaktur terjadi transformasi yang cukup mengesankan terutama sejak
1983. Indikator pertama yang dapat digunakan adalah Indeks Perubahan Struktural
(IPS) berikut :
I = ∑ ( a i2 - a i1) bila a i2 > a i1
Dimana: ai adalah pangsa industri i dalam NTSM
1 dan 2
menunjukkan periode awal dan akhir
Bila tidak ada perubahan sama sekali, maka I = 0 , sebaliknya bila
semua sektor mengalami perubahan, maka I
akan mendekati 1. Untuk mengukur perubahan struktural ini, akan digunakan data Backcast yang disediakan BPS dengan tingkat disagregasi
5 dijit. Hasil regresi pertumbuhan dan IPS
dapat dilihat dalam Tabel 2.2 Koefisien yang positif menunjukan bahwa
terdapat hubungan positif antara perubahan struktur dan pertumbuhan di sektor
manufaktur. Angka dalam tanda kurung adalah tanda signifikasi, semakin kecil
angkanya semakin nyata hubungan antara pertumbuhan dengan IPS baik pada periode
1975-1983 maupun 1983-1992, anmun hubungan tersebut menjadi semakin kuat pada
periode 1983-1992, ter bukti dari koefisien regresi yang meningkat dari 1,26
pada periode 1975-1983 menjadi 1,70 pada periode berikutnya.
Tabel 2.2
KOEFISIEN
REGRESI ANTARA PERTUMBUHAN DENGAN IPS
Periode
Koefisien Regresi
1975-1983 1.26
(0,061)
1983-1992 1.70
(0,078)
Terjadinya perubahan struktur bisa ditelusuri dari perbedaan relatif
pertumbuhan produktivitas dimasing-masing industri . Industri yang
produktivitasnya tumbuh di atas rata-rata menunjukkan bahwa tingkat
pengembalian terhadap faktro produksi (return
to factor of production; yang dapat diukur oleh tingkat upah dan ROI) di
indutri tersebut tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan rata-rata. Akibatnya
faktor produksi akan bergerak meninggalkan industri yang pertumbuhan
produktivitasnya dibawah rata-rata ke industri yang pertumbuhan
produktivitasnya di atas rata-rata. Bila
tidak ada hambatan terhadap pergerakan faktor produksi maka perubahan
struktur akan berakibat positif pada
pertumbuhan produktivitas rata-rata sektor manufaktur. Karena produktivitas
adalah salah satu komponen pertumbuhan, maka dapat diharapkan adanya kaitan
antara perubahan struktur dan pertumbuhan.
Untuk menguji teori diatas akan dilakukan uji korelasi antara
pertumbuhan pangsa nilai tambah industri dan pertumbuhan produktivitas tenaga
kerja dimasing-masing industri . Tabel 2.3 berikut menunjukkan koefisien
korelasi dan uji statistikanya. Dari tabel tersebut kembali terlihat korelasi
positif yang sangat kuat (angka dalam tanda kurung menunjukkan tingkat
signifikan. Namun koefisien korelasi periode 1983-1990 lebih rendah daripada
periode 1976-1982. Deregulasi sejak 1983 seharusnya menghilangkan hambatan bagi
pergerakan faktor produksi. Jadi seharusnya hubungan antara pertumbuhan pangsa
nilai tambah dan pertumbuhan produktivitas lebih kuat pada periode terakhir.
Kendati demikian, data yang dimiliki adalah data produktivitas tenaga kerja,
bukan produktivitas total yang menyertakan produktivitas modal. Jadi mungkin
saja melemahnya kaitan antara produktivitas tenaga kerja dengan pertumbuhan
pangsa nilai tambah diimbangi oleh kaitan yang lebih kuat antara produktivitas modal
dengan pertumbuhan pangsa.
Tabel 2.3
KORELASI
ANTARA PERTUMBUHAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA DAN PERTUMBUHAN PANGSA NILAI
TAMBAH
PERIODE KOEFISIEN
KORELASI
1976-1992 0,408
(0,000)
1976-1982 0.472
(0,000)
1983-1990 0,345
(0,000)
Perubahan struktur disektro manufaktur dilihat dari perubahan
komposisi NTSM berdasarkan kepadatan faktor (factor intensity). Karena terdapat perbedaan dalam teknologi yang
diperlukan untuk menghasilkan barang disektor manufaktur, amka muncul variasi
antar industri menurut kepadatan faktor produksi. Tektsil misalnya, termasuk
kategori indutri padat karya. Sektor padat sumber daya pertanian (PSDP)
mengambil porsi yang terbesar pada tahun 1975. Enam puluh persen NTSM disumbang
oleh sektor pada tahun tersebut. Drai enam puluh persen tersebut lebih
separuhnya diproduksi oleh 5 industri : gula, kopi, crumb rubber dan minyak goreng. Kecuali crumb
rubber, semuanya adalah barang kebutuhan pokok yang berorientasi dalam
negeri. 17 tahun kemudian, pangsa golongan ini tinggal 37 persen. Sementara
golongan padat-karya dari 16 persen menjadi 28 persen; padat teknologi dari 3
persen menjadi 7 persen; sedangkan golongan padat – sumber daya mineral tidak
banyak berubah. Pola seperti ini adalah pola yang umum terjadi sepanjang proses
industrialisasi. Elastisitas pendapatan barang-barang kebutuhan pokok biasanya
rendah, sementara elasitisitas barang-barang lainnya seperti barang-barang
elektronik cukup tinggi. Dengan meningkatnya pendapatan, proporsi barang kebutuhan
pokok dalam konsumsi penduduk akan menurun.
Komposisi golongan utama PSDP juga berubah drastis. Dari 44 Industri
yang tergolong PSDP, 14 industri menyumbang sekitar 80 persen dari total nilai
tambah industri golongan ini. Dari 14 industri tersebut 5 industri, rokok kretek, gula, pengolahan
kayu, crumb rubber, dan minyak goreng
selalu masuk dalam peringkat 10 industri terbesar, menyumbang sekitar separuh
dari nilai tambah disektor PSDP. Sedangkan industri kayu lapis, roti kue dan
biskuit; kertas dan makanan ternak baru masuk dalam kelompok industri PSDP.
Empat industri ini hanya menyumbang 2,2 persen ari seluruh nilai tambah sektor
PSDP pada tahun 1975. Tujuh belas tahun
kemudian, sumbangannya sudah melebihi sepertiga dari total nilai tambah
sektor PSDP. Sebaliknya industri teh, pengasapan karet, rokok putih , kopi dan
rimiling karet turun sumbangannya dari 35 persen pada tahun 1975 menjadi
tinggal 4 persen pada tahun 1992. Beberapa hal patut dicatat. Pertama,
industri-industri yang berbahan dasar kayu, seperti kayu lapis dan industri
kertas semakin besar perannya. Pada tahun 1992 seluruh industri yang berbahan
dasar kayu menyumbang 12,5 persen dari NTSM, lebih tinggi dari sumbangan
gabungan industri rokok kretek dan gula.
Tabel 2.4
INDUSTRI
YANG PERNAH MASUK DALAM 10 BESAR DISEKTOR
PADAT- SUMBER DAYA PERTANIAN
(persen
terhadap nilai tambah)
ISIC KOMODITAS 1975 1980 1985 1992
Selalu
Berperan
31420 Kretek 8,0
13,9 13,6 9,2
31181 Gula 8,1 3,8 3,7 2,1
33111 Pengolahan
Kayu 1,5 2,4 2,4 1,4
35523 Karet
Remah 6,4 3,5 1,7 1,2
31159 Minyak goreng 6,0 5,4 2,3 1,2
Persen
terhadap NTSM 30,0 29,0 23,8 15,2
Persen
terhadap PSDP 49,3 56,3 53,5 40,6
Semakin Berperan
33113 Kayu
Lapis 0,4 2,3 4,9 6,7
31179 Roti,
Kue,Biskuit 0,2 0,2 0,3 4,2
34111 Kertas 0,4 0.9 1,3 2,0
31280 Makanan
ternak 0,3 0,6 0,9 1.2
Persen terhadap NTSM 1,3 4,0 7,3 14,0
Persen terhadap PSDP 2,2 7,8 16,5 37,5
Turun
Perannya
31220 Teh 4,8 2,6 1,0 0,5
35521 Pengasapan
Karet 2,9 1,3 0,5 0,5
31430 Rokok
Putih 4,3 3,6 1.4 0,4
31163 Kopi 7,2 2,7 1,2 0,2
35522 Remiling
Karet 2,2 1,4 0,9 0,1
Persen terhadap NTSM 21,4 11,6 5,0 1,6
Persen
terhadap PSDP 35,2 22,5 11.2 4,4
Total terhadap NTSM 52,6 44,7 36,1 30,9
terhadap PSDP 86,7 86,6 81,2 82,5
Yang juga mengalami perubahan cukup berarti adalah golongan padat
karya (PK). Selama 17 tahun pangsanya dalam keseluruhan NTSM naik hampir dua
kali lipat dari sekitar 16 persen pada 1975 menjadi 28 persen pada 1992. Namun berbeda
dengan golongan PSDP, komoposisi disektor ini tidak banyak berubah (Tabel 2.5). Tujuh industri yang
tercantum pada Tabel 2.5 menyumbang antara 70-74 % dari seluruh nilai
tambah industri padat-karya (PK). Industri tenun, alas kaki dan pemintalan benang
adalah industri-industri yang selalu
termasuk dalam lima besar penyumbang industri padat karya. Namun kontribusi
tiga industri ini dalam nilai tambah industri padat karya terus menurun dari 47 persen menjadi 33 persen.
Industri reparasi kapal dan obat-obatan turun lebih drastis. Bila pada 1975,
dua industri ini masih berada dalam peringkat ke-4 dan ke-3 dalam nilai tambah
industri padat-karya, Pada tahun 1992 telah terjadi penurunan menjadi peringkat
ke-7 dan ke-8, sementara pangsanya turun lebih dari separuh yaitu dari 18
persen menjadi 8 persen pada periode yang sama. Pangsa industri pakaian jadi
naik lebih dari tujuh kali lipat dari 0,8 persen pada tahun 1975 menjadi 5,9
persen pada tahun 1992, dan pada saat yang sama industri barang-barang plastik,
industri yang juga tumbuh pesat, naik tiga kali lipat.
Tabel 2.5
INDUSTRI
YANG PERNAH TERMASUK 5 BESAR DI SEKTOR PADAT KARYA
(Persen
Terhadap Nilai Tambah)
1975-1992
ISIC KOMODITAS 1975 1980 1985 1992
32112 Tenun 4,7 4,8 4,7 4,2
32400 Alas
Kaki 0,9 0,6 0,6 2.5
32111 Pemintalan
Benang 1,9 3,4 3,4 2,4
Persentase
terhadap NTSM 7,4 8,8 8,3 9,1
Persentase
terhadap PK 47,0 43,4 37,1 32,8
Semakin Berperan
32210 Garmen 0,8 2,9 3,5 5,9
35600 Barang Plastik 0,7 0,8 1,4 2,1
Persentase
terhadap NTSM 1,5 3,8 4,9 8,0
Persentase
terhadap PK 9,7 18,8 21,9 28,8
Turun Perannya
38411 Reparasi
Kapal 0,9 1,0 1,1 1,2
35221 Obat-obatan 1,8 1,9 1,9 1,1
Persen terhadap NTSM 2,8 2,9 3,0 2,3
Persen terhadap
PK 17,5 14,4 13,2 8,3
Total
persen terhadap NTSM 11,8 15,5 16,2 19,4
Persen
terhadap PK 74,2 76,6 72,2 69,9
D. Permasalahan Industrialisasi
Pertumbuhan
industri – industri yang cukup pesat dalam tahun – tahun mendatang tidak akan
dapat banyak menyerap tenaga kerja baru yang tiap tahun bertambah dengan kurang
lebih 1,5 juta orang. Berhubungan dengan hal di atas maka sektor industri dalam
tahun – tahun mendatang tidak dapat diharapkan akan memegang peranan yang
berarti dalam menciptakan cukup lapangan kerja untuk membantu memecahkan
masalah kesempatan kerja di Indonesia. Meskipun sektor industri untuk masa
mendatang belum dapat diharapkan akan dapat memegang peranan yang berarti dalam
menciptakan cukup banyak lapangan kerja baru bagi pertambahan angkatan kerja,
namun berbagai ahli ekonomi pembangunan berpendapat bahwa dengan masalah
tekanan penduduk yang demikian besar, Indonesia mau tidak mau harus menempuh
suatu pola pembangunan ekonomi yang padat karya. Pola demikian akan
meningkatkan efesiensi produktif di Indonesia karena akan memanfaatkan dengan
lebih baik faktor produksi yang berlimpah - limpah (tenaga kerja), dan dengan cara ini akan
membantu pula mencapai pemerataan karena penciptaan lapangan kerja baru serta
peningkatan upah para pekerja.
E.Strategi
Pembangunan Sektor Industri
Peningkatan ekspor
barang – barang jadi yang padat karya, hal ini berarti bahwa kebijaksanaan
ekonomi yang sebelumnya lebih berpotensi ke dalam (inward-looking policies)
harus lebih bergeser ke kebijaksanaan yang berpotensi keluar (outward-looking policies) , khususnya
dalam mengembangkan industri – industri ekspor yang tangguh berdasarkan
keuggulan komparatif Indonesia.
Kebijaksanaan
ekonomi ke arah yang lebih berorientasi “ke luar” dimana sumber – sumber daya
produktif dialokasikan ke industri – industri dan usaha – usaha ekonomi lainnya
dimana Indonesia mempunyai “ keunggulan komparatif ”. industri – industri dimana
Indonesia mempunyai keunggulan komparatif untuk sebagian besar adalah “
industri – industri ekspor ” yang “ padat karya “. Industri – industri ekspor
ini mempunyai efiensi produkif yang lebih tinggi daripada industri – industri subtitusi
impor yang lebih padat modal, karena industri- industri ekspor ini
mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja yang justru merupakan faktor produksi
yang berlimpah – limpah di Indonesia. Dengan mendorong industri – industri ekspor
ini, maka tujuan pemerataan juga dapat dicapat dengan mudah, karena industri –
industri ekspor yang padat karya ini dapat mempekerjakan lebih banyak tenaga
kerja serta dapat pula meningkatkan tingkat upah tenaga kerja ini, jika
permintaan akan tenaga kerja ini akan meningkatkan dengan pesat.
Pendekatan
struktural dalam kebijaksanaan industri ( yang bertujuan untuk mendorong
pembangunan industri – industri yang dapat ‘memperdalam’ struktur industri
Indonesia melalui pengembangan industri – industri dasar dan industri –
industri yang menghasilkan barang – barang setengah jadi tanpa banyak
mengindahkan faktor efesiensi ) sebaiknya ditinggalkan. Pendekatan strukturalis
dalam kebijaksanaan industri pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pola
industrialisasi subtitus impor secara besar – besaran, dimana pola
industrialisasi subtitusi impor pada tingkat hilir mau diperluas sampai
ketingkat hulu.
CONTOH KASUS INDUSTRIALISASI DI INDONESIA
Ministry of Industry Optimistic Re-industrialization to Start 2017
http://www.gaikindo.or.id/en/menperin-optimis-reindustrialisasi-mulai-2017/
JAKARTA— Minister of Industry Airlangga Hartanto is optimistic to restore the rise of national industry which will begin in 2017. “I am mandated by the President to regain industrial sector contribution to the economy of Indonesia,” said the Minister.
This hope requires a strong commitment from upstream to downstream stakeholders, policy makers, to industry players. He delivered it when he became a key speaker in the Focus Group Discussion on Industry Options of Economic Committee and the National Industry (KEIN) in Indonesia Industrialization Strategic Framework 2045 in Bogor.
Airlangga’s confidence is boosted by the efforts and government’s policies namely, among others, to create a conducive business climate, to deregulate, to issue a package of economic policy, infrastructure development and industrial gas price reduction.
“If all that goes well, we can reach the target with some 5.4 percent industrial growth, above the economic growth next year,” said Airlangga.
Meanwhile, the industrial growth in 2016 is projected to reach 4.8 to 5.2 percent. “The target of economic growth in 2017 is around 5.2 percent and 2018 by seven per cent, while investments in 2017 is hoped to reach IDR 600 trillion and by 2018 as much as IDR 800 trillion,” he said.
In the National Industrial Development Master Plan (RIPIN) 2015-2035 which includes the vision and mission and strategy of industrial development, the government has some quantitative targets of industrial development gradually until 2035.
The goals include non-oil industrial sector growth of 10.5 percent, non-oil industry’s contribution to GDP to 30 percent, as well as the contribution of exports to total exports of industrial products increased from 78.4 in 2015 positions, which reached 70 percent.
To achieve these goals, according to the Head of Research and Development (ARDI) of the Ministry of Industry Haris Munandar, there are strategic steps to be divided into three stages.
First, the period 2015-2019 focuses on increasing the added value and optimizes the abundant natural resources in the country through the downstream industries. “The direction in agro-based industries upstream, mineral and oil and gas, followed by the development of supporting industries and mainstay selectively,” he said.
The second phase, the period 2020-2024 focuses on being competitive and environmentally-friendly enterprises. This effort will be taken by strengthening the industrial and technological mastery, supported by quality human resources.
The third phase in 2025-2035 will make Indonesia as a strong industrial state, characterized by a strong national industrial structure and deep, highly competitive at the global level, as well as innovation and technology-based.
According to Haris, such programs and policies were set in the efforts to develop priority industry, particularly the labor-intensive and export-oriented sectors. “Such as food and beverages, textiles and textile products, footwear, and electronics and telematics, which can give the highest contribution to the GDP and employs many workers,” he said.
The industrial construction in the future will be focused on the 11 groups, the food industry, pharmaceutical industry, cosmetics and medical devices, textiles, leather, footwear and miscellaneous, industrial transportation, industrial electronics and telecommunications (ICT).
In addition, the energy generation industry, capital goods industry, components, auxiliary materials and services industry, agro upstream industry, basic metal and nonmetal minerals, basic chemical industries based on oil and gas and coal, as well as small and medium industrial sector of the creative crafts.
ANALISIS KASUS
What : Optimis membangkitkan perindustrian nasional.
Who : Menteri perindustrian Airlangga Hartanto
When : februari 2017
Where: Jakarta
Why : Karena dorongan dari upaya dan kebijakan pemerintah antara lain menciptakan iklim usaha yang kondusif, deregulasi, mengeluarkan paket kebijakan ekonomi, pembangunan infrastruktur dan pengurangan harga gas industri.
"Jika semua berjalan lancar, kita bisa mencapai target dengan pertumbuhan industri 5,4 persen, di atas pertumbuhan ekonomi tahun depan," kata Airlangga.
Sementara itu, pertumbuhan industri pada 2016 diproyeksikan mencapai 4,8 hingga 5,2 persen.
How : Untuk mencapai tujuan tersebut, menurut Kepala Riset dan Pengembangan (ARDI) Kementerian Perindustrian Haris Munandar, ada beberapa langkah strategis yang bisa dibagi menjadi tiga tahap.
Pertama, periode 2015-2019 berfokus pada peningkatan nilai tambah dan optimalisasi sumber daya alam yang melimpah di dalam negeri melalui industri hilir. "Arah industri agro berbasis hulu, mineral dan minyak dan gas, diikuti oleh pengembangan industri pendukung dan andalan selektif," katanya.
Tahap kedua, periode 2020-2024 berfokus pada perusahaan yang kompetitif dan ramah lingkungan. Upaya ini akan dilakukan dengan memperkuat penguasaan industri dan teknologi, didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas.
Fase ketiga tahun 2025-2035 akan menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang kuat, ditandai oleh struktur industri nasional yang kuat dan mendalam, sangat kompetitif di tingkat global, serta inovasi dan berbasis teknologi.
Kesimpulan : Indonesia akan memulai membangkitan perindustrian nasional pada tahun 2017, Mentri perindustrian Airlangga Hartanto mengatakan bahwa "Jika semua berjalan lancar, kita bisa mencapai target dengan pertumbuhan industri 5,4 persen, di atas pertumbuhan ekonomi tahun depan," kata Airlangga. Sementara itu, pertumbuhan industri pada 2016 diproyeksikan mencapai 4,8 hingga 5,2 persen. Untuk mencapai tujuan tersebut, menurut Haris Munandar ada 3 fase yaitu :
· Periode 2015-2019 berfokus pada peningkatan nilai tambah dan optimalisasi sumber daya alam yang melimpah di dalam negeri melalui industri hilir. "Arah industri agro berbasis hulu, mineral dan minyak dan gas, diikuti oleh pengembangan industri pendukung dan andalan selektif," katanya.
· Periode 2020-2024 berfokus pada perusahaan yang kompetitif dan ramah lingkungan. Upaya ini akan dilakukan dengan memperkuat penguasaan industri dan teknologi, didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas.
· Periode 2025-2035 akan menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang kuat, ditandai oleh struktur industri nasional yang kuat dan mendalam, sangat kompetitif di tingkat global, serta inovasi dan berbasis teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
Wie,Kian.1988.Industrialisasi Indonesia.Jakarta: PT.Intermesa.
Pangestu,Mari.dkk.1996.Transformasi Indonesia dalam Era Perdagangan.Jakarta:Centre for Strategic and Internastional Studies (CSIS).
Komentar
Posting Komentar