Tugas Softskill Aspek Hukum dalam Ekonomi - Kasus tentang perlindungan konsumen dan Kasus tentang sengketa dalam ekonomi
PERLINDUNGAN KONSUMEN
- LOLA CRISTIYANTI MARBUN -
2EB17
24216089
Pengertian Konsumen
Menurut
pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.”
Lebih
lanjut, di ilmu ekonomi ada dua jenis
konsumen, yakni konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah
distributor, agen dan pengecer. Mereka membeli barang bukan untuk dipakai,
melainkan untuk diperdagangkan Sedangkan pengguna barang adalah konsumen akhir.
Yang dimaksud di dalam UU PK sebagai konsumen adalah konsumen akhir. Karena konsumen akhir memperoleh barang dan/atau jasa bukan untuk dijual kembali, melainkan untuk digunakan, baik bagi kepentingan dirinya sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain.
ASAS DAN TUJUAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 menjelaskan bahwa
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen,
dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan
kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen
adalah:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab
dalam berusaha;
f. Meningkatkan
kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan
konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:
1.
Asas manfaat
Asas
ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak
ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua
belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2. Asas keadilan
Penerapan
asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan
kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan
pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara
seimbang.
3. Asas keseimbangan
Melalui
penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta
pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih
dilindungi.
4.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan
penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Dimaksudkan
agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian
hukum.
HAK DAN KEWAJIBAN
KONSUMEN
Hak
konsumen
Secara
umum dan telah diakui oleh organisasi Internasional ada empat hak dasar
konsumen, yaitu :
1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the
right to safety);
2. Hak untuk mendapatkan informasi (the
right to be informed)
3. Hak untuk memilih (the right to
choose);
4. Hak untuk di dengar (the right to be
heard).
Sedangkan dalam pasal 4 UUPK ada 9
(sembilan), yaitu :
1)
Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
2)
Hak
untuk memilih barang dan / jasa serta mendapatkan barang dan jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3)
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa.
4)
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan/ jasa yang digunakan.
5)
Hak untuk mendpaatkan advokasi, perlindungan,
dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6)
Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7)
Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8)
Hak
untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan atau penggantian, jika barang dan
atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
9)
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.
Kewajiban
dari konsumen ;
a)
Membaca,
petunjuk & prosedur pemakaian;
b)
Beritikad
baik dalam transaksi;
c)
Membayar
sesuai nilai tukar;
d)
Mengikuti
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
HAK
DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Hak-Hak Produsen
a. Hak menerima pembayaran yang sesuai
dengan kesepakatan mengenai kondisi, cara, dan nilai tukar barang atau jasa
yang diperdagangkan dengan konsumen;
b. Hak untuk mendapat perlindungan
hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri
sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik
apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh
barang atau jasa yang diperdagangkan
Kewajiban Produsen
a) Beritikad baik dalam kegiatan
usahanya;
b) Memberikan informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberikan
penjelasan, penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d) Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi
atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu dan jasa yang berlaku;
e)
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau
mencoba barang dan jasa yang dibuat atau diperdagangkan;
f)
Memberi kompensasi, ganti rugi, atau pengganti atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang
diperdagangkan;
g)
Memberi kompensasi ganti rugi atau penggunaan bila barang
atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
PERBUATAN YANG
DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang
kewajiban bagi para Pelaku Usaha sebenarnya sudah jelas di atur dalam
Undang-undang Republik Indonesia No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
namun ternyata masih banyak para pelaku usaha yang mengabaikan kewajiban -
kewajiban tersebut yang mana peraturan yang mengatur tentang kewajiban bagi
Pelaku Usaha seperti yang tersebut di bawah ini:
Pasal 8
(1) Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang di isyaratkan dan ketentuan peraturan perundang- undangan.
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi
bersih atau netto, jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label
atau etiket barang tersebut.
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran
timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan,
keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi,
proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan
dalam label atau keterangan barang dan atau jasa tersebut.
f. Tidak sesuai dengan janji yang
dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang
dan atau jasa tersebut.
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa
atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang baik atas barang tertentu.
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi
secara halal,sebagaimana pernyataan " Halal" yang di cantumkan dalam
label.
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan
barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi,
aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha
serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di
pasang/dibuat.
j. Tidak mencantumkan informasi dan atau
petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak,cacat
atau bekas,dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
atas barang yang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan
pangan yang rusak,cacat atau bekas tercemar,dengan atau tanpa memberikan infomasi
secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan
ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
Pasal 9
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan,
mengiklankan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar,dan atau seolah olah
:
a. Barang tersebut telah memenuhi dan atau
memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode
tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
b. Barang tersebut dalam keadaan baik
dan atau baru.
c. Barang dan/atau jasa tersebut telah
mendapatkan dan atau sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan
tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
d. Barang dan atau jasa tersebut di buat
oleh perusahaan yang mempunyai sponsor persetujuan atau afiliasi.
e. Barang dan atau jasa tersebut
tersedia.
f. Barang tersebut tidak mengandung
cacat tersembunyi.
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan
dari barang tertentu.
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
i. Secara langsung atau tidak langsung
merendahkan barang dan atau jasa lain.
j. Menggunakan kata-kata yang
berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko atau efek
sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung
janji yang belum pasti.
(2) Barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk di perdagangkan.
(3) Pelaku Usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1)
dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan atau jasa
tersebut.
Pasal 10
Pelaku Usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang
ditujukan untuk di perdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan
atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :
1. Harga atau tarif suatu barang dan atau
jasa
2. Kegunaan suatu barang dan atau
jasa
3. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak
atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa
4. Tawaran potongan harga atau hadiah
menarik yang ditawarkan.
5. Bahaya penggunaan barang dan atau
jasa
Pasal 11.
Pelaku Usaha dalam melakukan penjualan melalui cara obral atau
lelang, dilarang mengelabuhi menyesatkan konsumen dengan :
a) Menyatakan barang dan atau jasa
tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu.
b) Menyatakan barang dan atau jasa
tersebut seolah olah tidak mengandung cacat tersembunyi.
c) Tidak berniat untuk menjual barang
yang di tawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain.
d) Tidak menyediakan barang dalam jumlah
tertentu dan atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
e) Tidak menyediakan jasa dalam
kapasitas tertentu dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain.
f) Menaikan harga atau tarif barang dan atau
jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12.
Pelaku Usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau
mengiklankan suatu barang dan atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam
waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk
melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang di tawarkan, dipromosikan, atau
di iklankan.
Pasal 13
(1) Pelaku Usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau
mengiklankan suatu barang dan atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian
hadiah berupa barang dan atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak
memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang di janjikannya.
(2) Pelaku Usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan
obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan atau jasa
pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan atau
jasa lain.
Pasal 14
Pelaku Usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang
untuk :
a. Tidak melakukan penarikan hadiah
setelah batas waktu yang dijanjikan
b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui
media massa ;
c. Memberikan hadiah tidak sesuai yang
diperjanjikan.
d. Mengganti hadiah yang tidak setara
dengan nilai hadiah yang di janjikan.
Pasal 15.
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa dilarang
melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan
fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16.
Pelaku Usaha dalam menawarkan barang
dan atau jasa melalui pesanan dilarang untuk :
a. Tidak menepati pesanan dan/atau
kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang di janjikan.
b. Tidak menepati janji atas suatu
pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
a. Mengelabuhi konsumen mengenai
kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan atau tarif jasa serta
ketepatan waktu penerimaan dan atau jasa.
b. Mengelabuhi jaminan atau garansi
terhadap barang dan atau jasa.
c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau
tidak tepat mengenai barang dan atau jasa.
d. Tidak memuat informasi mengenai
resiko pemakaian barang dan atau jasa.
e. Mengeksploitasi kejadian dan atau
seseoarang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
f. Melanggar etika dan atau ketentuan
peraturan perundang undangan mengenai periklanan.
(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran
iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1)
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 19 UUPK
A.
Tanggung jawab
ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran akibat konsumsi barang atau jasa.
B.
Ganti rugi dapat
berupa pengembalian uang atau penggantian barang sejenis / perawatan
kesehatan dan atau pemberian santunan;
C.
Ganti rugi dilaksanakan 7 hari setelah
transaksi dan tidak menghapuskan tuntutan pidana dan tidak berlaku apabila
pelaku usaha dapat membuktikan sebaliknya.
Pasal 19 UUPK ini terhadap bentuk penggantian kurang memberikan keadilan bagi konsumen, utamanya
kalau konsumen menderita kerugian berupa sakit atau kematian, seharusnya dapat diberikan
sekaligus kepada konsumen baik harga barang, perawatan dan santunan serta ,
tenggang waktu penggantian bukan 7 hari setelah transaksi tetapi 7 hari setelah
menderita kerugian .
Tanggung jawab
produk (product liabiity)
Menurut Agnes M. Toar : sebagai tanggung jawab produsen untuk produk
yang dibawahnya ke dalam peredaran, yang menimbulkan kerugian karena cacat yang
melekat pada produk tersebut.
Tanggung jawab disini akibat hubungan
kontraktual/perjanjian;
a)
Produk cacat
menurut BPHN : setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya,
baik karena kesengajaan, peredarannya;
b)
Tanggung jawab
mutlak (strict liability); tanggung jawab pelaku usaha tanpa melihat apa ada
unsur kesalahan dari pelaku usaha atau tidak , tetap mendapat ganti rugi ( di
Amerika Serikat ).
Produk liability
terkait dengan ;
a)
Dalam pembuatan
sebuat produk , proses produksi dari pelaku usaha;
b)
Promosi
niaga/iklan produk dari pelaku usaha;
c)
Praktik
perdagangan /pemasaran yang tidak jujur
.
SANKSI TERHADAP PELAKU USAHA YANG MELANGGAR
Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26 yaitu :
Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26 yaitu :
a. Pelaku usaha yang tidak
melaksanakan pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Pelaku usaha yang tidak
melaksanakan pemberian ganti rugi dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi.
c. Pelaku usaha periklanan yang
tidak bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang
ditimbulkan oleh iklan tersebut.
d. Pelaku usaha yang memproduksi
barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang kurangnya 1
(satu) tahun yang tidak menyediakan suku cadang dan atau fasilitas purna jual
dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
e. Pelaku usaha yang tidak
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila
pelaku usaha tersebut :
a.
Tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang
dan/atau fasilitas perbaikan;
b.
Tidak memenuhi atau gagal
memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
f. Pelaku usaha yang memperdagangkan
jasa tidak memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan atau yang
diperjanjikan.
Sanksi
Pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) terhadap Pelaku usaha
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf
e, ayat (2), dan Pasal 18 yaitu :
1. Pelaku usaha yang memproduksi
dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa dimana :
a)
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang- undangan;
b)
Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan
jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket
barang tersebut;
c)
Tidak sesuai dengan
ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang
sebenarnya;
d)
Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan atau jasa tersebut;
e)
Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan atau jasa tersebut;
f)
Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,
etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut;
g)
Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h)
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i)
Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan
pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j)
Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Pelaku usaha yang memperdagangkan
barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi
secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
3. Pelaku usaha yang memperdagangkan
sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
4. Pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) yang tetap memperdagangkan barang
dan/atau jasa tersebut serta tidak menariknya dari peredaran.
5. Pelaku usaha yang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
5. Pelaku usaha yang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
a.
Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan
harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,
karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b.
Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c.
Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau
memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu,
ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
d.
Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang
mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e.
Barang dan/atau jasa
tersebut tersedia;
f.
Barang tersebut tidak
mengandung cacat tersembunyi;
g.
Barang tersebut
merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h.
Barang tersebut
berasal dari daerah tertentu;
i.
Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang
dan/atau jasa lain;
j.
Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang
lengkap;
k.
Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
6. Barang dan/atau jasa di atas tetap diperdagangkan oleh
pelaku usaha.
7. Pelaku usaha yang tetap melanjutkan penawaran, promosi,
dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Perlindungan Konsumen Dipertanyakan dalam Kasus Komika Acho
Senin 07 August 2017 08:55 WIB
Red: Nur Aini
REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Pakar Pelindungan Konsumen
Universitas Indonesia (UI) Rizal E Halim meminta pemerintah memberikan
perlindungan terhadap kasus yang menimpa Artis stand up comedy (komika)
Muhadkly MT alias Acho.
"Ini merupakan satu dari sekian banyak contoh kasus bagaimana
lemahnya posisi tawar konsumen. Tidak hanya pada sektor properti tetapi sektor
sektor lainnya seperti perbankan dan keuangan, telekomunikasi, transportasi,
dan sebagainya," katanya di Depok, Senin (7/8).
Acho sebelumnya dilaporkan ke polisi atas tuduhan pencemaran
nama baik oleh PT Duta Paramindo Sejahtera, karena menulis keluhan di blog soal
pengelolaan Apartemen Green Pramuka. Rizal mengatakan agenda perlindungan
konsumen memang selayaknya menjadi prioritas nasional untuk mendorong
tercapainya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Perlakuan hukum terhadap
apa yang dilakukan Acho (pencemaran nama baik) seyogyanya disikapi dengan lebih
bijak. "Catatan yang dibuat Acho pada blognya merupakan hak Acho sebagai
konsumen yang dilindungi oleh UU no 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen," kata Rizal yang juga dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI.
Perkembangan media informasi memungkinkan setiap individu
untuk menyampaikan pendapat, pandangan dan sebagainya di media-media online
termasuk melalui blog. Idealnya laporan pencemaran nama baik yang diadukan oleh
kuasa hukum dari PT Duta Paramindo Sejahtera setidaknya perlu ditelusuri
terlebih dahulu sebelum menjatuhkan status tersangka kepada Acho. Jika ini
dilakukan, maka kata Rizal apa yang dituliskan Acho tidak memuat unsur
pencemaran nama baik. Pencemaran nama baik hanya berlaku ketika yang ditulis
Acho tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi. "Kita berharap
kasus Acho mendapatkan porsi yang memadai sehingga dapat menjadi pintu masuk
dalam mengevaluasi seluruh praktik-praktik pelaku usaha yang berpotensi
merugikan konsumen atau bahkan terkesan semena-mena," ujarnya.
Menurut dia, kasus Acho merupakan potret lemahnya posisi
konsumen di Indonesia. Untuk itu Pemerintah perlu memberikan perlindungan bagi
setiap warga negaranya. Pemerintah harus hadir pada kondisi-kondisi seperti
ini.
Rizal mengatakan postingan Acho di blognya secara jelas
memuat sejumlah fakta (misalnya brosur, kebijakan tarif, dll). Bahkan ada
baiknya mengambil kasus PT Duta Paramindo Sejahtera sebagai pintu masuk
mengevaluasi seluruh pengelola properti di Indonesia dan Jakarta khususnya.
Untuk itu, kata Rizal, Pemerintah melalui Badan Perlindungan
Konsumen Nasional (BPKN) sangat diperlukan untuk tidak sekadar menengahi kasus
seperti Acho, tetapi juga memberi perlindungan hukum yang memadai sehingga
posisi tawar konsumen relatif seimbang dengan produsen. Namun sayangnya, BPKN
saat ini sedang vakum pasca-berakhirnya kepengurusan periode 2013-2016.
Sementara BPKN yang baru hingga saat ini masih menunggu arahan Presiden Joko
Widodo. "Kita berharap kasus Acho mendapatkan porsi yang memadai sehingga
dapat menjadi pintu masuk dalam mengevaluasi seluruh praktik-praktik pelaku
usaha yang berpotensi merugikan konsumen atau bahkan terkesan
semena-mena," ujarnya.
Ia mengatakan kasus buvanest spinal, vaksin palsu, makanan
kadaluarsa, perlakuan tarif telekomunikasi, kasus Acho, dan seterusnya
merupakan potret lemahnya posisi konsumen di Indonesia. "Pemerintah perlu
memberikan perlindungan bagi setiap warga negaranya, Pemerintah harus hadir
pada kondisi-kondisi seperti ini," ujarnya.
PENYELESAIAN SENGKETA
Sengketa dimulai ketika satu pihak merasa dirugikan oleh
pihak lain. Ketika pihak yang merasa dirugikan menyampaikan ketidakpuasannya
kepada pihak kedua dan pihak kedua tersebut menunjukkan perbedaan pendapat maka
terjadilah perselisihan atau sengketa.
Sengketa dapat diselesaikan melalui cara-cara formal yang
berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri dari proses melalui
pengadilan dan arbitrase atau cara informal yang berbasis pada kesepakatan
pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi dan mediasi.
1.
Negosiasi (Negotiation)
Negosiasi merupakan proses tawar-menawar dengan berunding
secara damai untuk mencapai kesepakatan antarpihak yang berperkara, tanpa
melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.
2.
Mediasi
Proses penyelesaian sengketa antarpihak yang bersengketa yang
melibatkan pihak ketiga (mediator) sebagai penasihat. Dalam hal mediasi,
mediator bertugas untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
a) Bertindak
sebagai fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi
b) Menemukan
dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi antarpihak, menyesuaikan
persepsi, dan berusaha mengurangi perbedaan sehingga menghasilkan satu
keputusan bersama.
3. Konsiliasi
Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang
berselisih untuk mencapai suatu penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga
(konsiliator). Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator berhak
menyampaikan pendapat secara terbuka tanpa memihak siapa pun. Konsiliator tidak
berhak membuat keputusan akhir dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak
karena hal tersebut diambil sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
4.
Arbitrase
Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara
penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan
perjanjian arbitrase secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Perjanjian
arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam
suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul
sengketa.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal walaupun
disebabkan oleh suatu keadaan seperti di bawah ini:
1. Salah
satu pihak meninggal
2. Salah
satu pihak bangkrut
3. Pembaharuan
utang (novasi)
4. Salah
satu pihak tidak mampu membayar (insolvensi)
5. Pewarisan
6. Berlakunya
syarat hapusnya perikatan pokok
7. Bilamana
pelaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan
persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut
8. Berakhir
atau batalnya perjanjian pokok
Dua jenis arbitrase:
1. Arbitrase ad hoc
atau arbitrase volunter
Arbitrase ini merupakan arbitrase bersifat insidentil yang
dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan perselisihan tertentu. Kedudukan dan
keberadaan arbitrase ini hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan
tertentu, setelah sengketa selesai maka keberadaan dan fungsi arbitrase ini
berakhir dengan sendirinya.
2. Arbitarse
institusional
Arbitrase ini merupakan lembaga permanen yang tetap berdiri
untuk selamanya dan tidak bubar meski perselisihan yang ditangani telah
selesai.
Pemberian pendapat oleh lembaga arbitrase menyebabkan kedua
belah pihak terikat padanya. Apabila tindakannya ada yang bertentangan dengan
pendapat tersebut maka dianggap melanggar perjanjian, sehingga terhadap
pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum atau
perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi.
Sementara itu, pelaksanaan putusan arbitrase nasional
dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan
ditetapkan. Dengan demikian, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera
pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang berupa akta
pendaftaran.
Putusan arbitrase bersifat final, dibubuhi pemerintah oleh
ketua pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan
putusan dalam perkara perdata yang keputusannya telah memiliki kekuatan hukum
tetap dan mengikat para pihak, tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau
peninjauan kembali.
Dalam hal pelaksanaan keputusan arbitrase internasional
berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, yang berwenang menangani masalah pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Sementara itu berdasarkan Pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999,
suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di
wilayah hukum RI, jika telah memenuhi persyaratan sbb:
1. Putusan
arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan Negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional
2. Putusan
arbitrase internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum
Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan
3. Putusan
arbitrase internasional hanya dapat dilakukan di Indonesia dan keputusannya
tidak bertentangan dengan ketertiban umum
4. Putusan
arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekutor dari ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara
tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari pernyataan dan
pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri dimana
permohonan tersebut diajukan kepada ketua pengadilan negeri.
Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan
banding ke MA mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding tersebut
diterima oleh MA.
5.
Peradilan
Negara berhak memberikan perlindungan dan penyelesaian bila
terjadi suatu pelanggaran hukum. Untuk itu negara menyerahkan kekuasaan
kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan para pelaksananya, yaitu hakim.
Pengadilan berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1986 adalah
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peadilan umum. Sementara
itu berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggara kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang berbeda di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan oleh sebuah MK.
6.
Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi
rakyat yang umumnya mengenai perkara perdata dan pidana. Kekuasaan kehakiman di
lingkungan peadilan umum dilaksanakan oleh:
1. Pengadilan Negeri
Pengadilan negeri merupakan pengadilan tingkat pertama yang
berkedudukan di kodya atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kodya dan kabupaten yang dibentuk dengan keputusan presiden. Pengadilan
negeri bertugas memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan
perdata di tingkat pertama.
2. Pengadilan Tinggi
Pengadilan tinggi adalah pengadilan tingkat banding yang
berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi
yang dibentuk dengan undang-undang.
Tugas dan wewenang pengadilan tinggi adalah mengadili perkara
pidana dan perdata di tingkat banding, di tingkat pertama dan terakhir sengketa
kewenangan yang mengadili antar pengadilan negeri di daerah hukumnya.
3. Mahkamah Agung (MA)
MA merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua
lingkungan peradilan yang berkedudukan di ibukota negara RI dan dalam
melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh
lain.
MA bertugas dan berwewenang memeriksa dan memutus:
1. Permohonan
kasasi
2. Sengketa
tentang kewenangan mengadili
3. Permohonan
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam tingkat kasasi, MA membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:
1. Tidak
berwenang atau melampaui batas wewenang
2. Salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
3. Lalai
memenuhi syarat yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan
MA memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali (PK)
pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan yang diatur dalam perundang-undangan.
Permohonan PK dapat diajukan hanya satu kali dan tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Permohonan PK
dapat dicabut selama belum diputus dan dalam hal sudah dicabut, permohonan PK
tak dapat diajukan lagi.
Permohonan PK diajukan sendiri oleh pemohon atau ahli
warisnya kepada MA melalui ketua pengadilan negeri yang memutus perkara dalam
tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan. Permohonan PK
dapat dilakukan oleh wakil dari pihak yang berperkara yang secara khusus dikuasakan
dengan tenggang waktu pengajuan 180 hari.
Perbedaan antara Perundingan,
Arbitrase, dan Ligitasi
Proses
|
Perundingan
|
Arbitrase
|
Ligitasi
|
Yang mengatur
|
Para pihak
|
Arbiter
|
Hakim
|
Proses
|
Informal
|
Agak formal sesuai dengan rule
|
Sangat formal dan teknis
|
Jangka waktu
|
Segera (3-6 minggu)
|
Agak cepat (3-6 bulan)
|
Lama (>2 tahun)
|
Biaya
|
Murah
|
Terkadang sangat mahal
|
Sangat mahal
|
Aturan pembuktian
|
Tidak perlu
|
Agak informal
|
Sangat formal & teknis
|
Publikasi
|
Konfidensial
|
Konfidensial
|
Terbuka untuk umum
|
Hubungan para pihak
|
Kooperatif
|
Anatgonistis
|
Antagonistis
|
Fokus penyelesaian
|
Masa depan
|
Masa lalu
|
Masa lalu
|
Metode negosiasi
|
Kompromis
|
Sama keras pada prinsip hukum
|
Sama keras pada prinsip hukum
|
Komunikasi
|
Memperbaiki yang sudah lalu
|
Jalan buntu
|
Jalan buntu
|
Result
|
Win-win
|
Win-lose
|
Win-lose
|
Pemenuhan
|
Sukarela
|
Selalu ditolak dan mengajukan oposisi
|
Ditolak dan mencari dalih
|
Suasana emosional
|
Bebas emosi
|
Emosional
|
Emosi bergejolak
|
Sengketa Pajak Pengaruhi Kestabilan Ekonomi Makro
20 Mar 2018, 18:00 WIB - Oleh:
M.Richard
Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diharapkan serius memperhatikan kasus
sengketa pajak yang makin meningkat dalam dua tahun belakangan ini. Pasalnya,
wajib pajak sudah mulai patuh.
Berdasarkan catatan Bisnis, tren sengketa di pengadilan pajak
setiap tahun selalu meningkat Pada tahun 2017 jumlah sengketa yang diajukan
atau ditujukan kepada Ditjen Pajak (DJP) mencapai 568 sengketa. Jumlah ini naik
cukup signifikan, pasalnya pada 2016 terjadi penurunan sebanyak 374 sengketa
dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan sengketa tahun 2016 terjadi lantaran
implementasi pengampunan pajak.
Sementara itu, realisasi kepatuhan wajib pajak pada 2017
sudah mencapai 73%, dan kepatuhan WP tahun ini dipatok lebih tinggi, yakni 80%.
Mohammad Faisal Direktur CORE mengatakan peningkatan
kepatuhan pajak yang diikuti dengan peningkatan sengketa pajak merupakan
cerminan dari meningkatnya perhatian dan keseriusan masyarakat terhadap
pembayaran pajaknya.
Namun, hal tersebut juga dapat diartikan kualitas pelayanan
kepada wajib pajak berkurang dikarenankan beban kerja DJP yang meningkat.
"Kalau tidak diperhatikan dengan serius, takutnya
sengketa ini akan semakin banyak," katanya kepada Bisnis, Selasa
(20/3/2018).
Kemungkinan paling besar, kata Faisal, permasalahan dalam hal
ini dikarenakan akurasi DJP pajak dalam koreksi pemeriksaan pajak sudah mulai
berkurang.
Hal tersebut terkonfirmasi dengan pernyataan dari DJP yang
mengakui bahwa pihaknya bnayak mengalami kekalahan di pengadilan. Padahal secara
ideal seharusnya proses banding lebih kepada sengketa terkait peraturan atau
ketentuan perpajakan termasuk intepretasinya. Namun, yang terjadi saat ini
banyak sengketa masih membahas masalah data atau perhitungan sebagai hasil dari
proses pemeriksaan.
Oleh karena itu, Faisal berharap reformasi perpajakan yang
DJP janjikan benar-benar dapat terimplementasi dengan baik.
Lima pilar reformasi perpajak yang dimaksud adalah perbaikan
organisasi internal, perbaikan SDM, penigkatan teknologi informasi berbasis data,
penyederhanaan proses bisnis, dan perbaikan peraturan hukum.
Faisal mengatakan, jika DJP masih belum memperbaiki hal
tersebut dikahwatirkan sengketa yang banyak tersebut dapat membuat luntur
kepercayaan WP.
"Itu artinya momentum ketaatan wajib pajak bisa saja
menurun," imbuhnya.
Lunturnya kepercayaan WP, menurut Faisal, dapat berdampak ke
mana-mana, yakni pertumbuhan ekonomi tidak dapat mengoptimalkan pernerimaan
pajak, dan utang pemerintah akhirnya juga akan sulit untuk dibayar kembali.
Pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC)
Darussalam mengatakan sengketa pajak yang semangkin menumpuk di pengadilan
pajak adalah pekerjaan rumah besar yang harus dibenahi oleh pemerintah dan DPR.
"Harus ada pendekatan yang komprehensif untuk menyelesaikan
permasalahan semakin banyaknya sengketa pajak baik di level peraturan pajak,
pemeriksaan pajak, keberatan, banding maupun Mahkamah Agung," katanya
kepada Bisnis.
Menurutnya ada 6 poin yang benar harus diperhatikan secara
serius. Pertama, bagaimana membuat aturan pajak agar tidak multi
interpretasi sehingga memberikan kepastian hukum yang tinggi.
Kedua, membuat aturan main terkait pembuatan surat penegasan pajak atau ruling,
yang mana sampai sekarang tidak ada aturan terkait dengan tatacara pembuatan
surat penegasan untuk menjawab pertanyaan WP terkait persoalan pajak.
"Beberapa kali surat penegasan malah membuat
ketidakpastian bagi wajib pajak," imbuhnya.
Ketiga, koreksi pemeriksaan pajak hendaknya dilakukan dengan bukti yang andal
dan didasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Keempat, proses keberatan seharusnya dapat ditempatkan sebagai lembaga yg lebih
independen, karena pembinaan Pengadilan Pajak ditempatkan di Kementerian
Keuangan sebagai lembaga Eksekutif tidak konsisten atau menciptakan
kontradiksi.
Kelima, pengadilan pajak sesuai dengan amanat UU Pengadilan Pajak adalah tempat
mencari keadilan bagi wajib pajak, diharapkan dapat memberikan putusan yang
konsisten sehingga dapat dijadikan acuan bagi sengketa2 lain yang kasusnya
identik sama.
Keenam, pihaknya mendesak untuk menambah Hakim Mahkamah Agung (MA) yang
mempunyai kompetensi di bidang pajak, mengingat banyak putusan pengadilan pajak
diajukan pininjauan kembali (PK) ke MA.
"Baik oleh DJP maupun oleh wajib
pajak," imbuhnya.
Editor: Nancy Junita
SUMBER :
https://odebhora.wordpress.com/2011/05/17/penyelesaian-sengketa/
Komentar
Posting Komentar